Ekonomi Digital

Konten Kreator & Mesin Ekonomi Baru

ekraf

DULU di kampung, bapak-bapak bangga kalau anaknya jadi pegawai negeri, paling banter jadi guru atau polisi. “Kerja itu harus jelas gajinya, nak!”, begitu petuah klasik yang diwariskan turun-temurun. Sekarang? anak muda pegang HP, modal tripod dari marketplace, terus bikin konten joget-joget ala TikTok, eh…. tiba-tiba dapet endorse minuman kekinian. Hasilnya? lebih gede dari gaji pegawai kontrak di kantor kecamatan, dunia memang sudah jungkir balik.

Kalau  tulang punggung ekonomi desa adalah nelayan dan petani, sekarang ada tulang punggung baru, anak-anak kreator konten. Bedanya, kalau nelayan bangun subuh lempar jaring ke laut, kreator bangun siang, tapi malam begadang lempar konten ke algoritma. Kalau beruntung, ikannya bisa cuma dua ekor, tapi kalau kontennya kena algoritma, bisa dapat jutaan view.

Ada pepatah lama, “Siapa rajin menebar jala, dia yang panen ikan”, versi modernnya “Siapa rajin upload konten, dia yang panen followers”. Nelayan takut badai, kreator takut banned. Petani was-was hama tikus, kreator was-was hama komentar netizen plus 62 yang maha benar.

Dan lucunya, keduanya sama-sama berhubungan dengan cuaca, kalau nelayan lihat langit mendung, mereka urung melaut. Kalau kreator lihat engagement turun, mereka urung upload, hanya beda medan tempur laut lepas vs kolom komentar.

Data Kementerian Ekonomi Kreatif jelas menyebutkan subsektor konten digital menyumbang lapangan kerja, PDB, bahkan ekspor. Lho, ekspor?, betul!. Bayangkan, ada kreator Indonesia yang bikin konten reaction K-drama, ditonton orang Korea sendiri. Ini artinya, ekspor ide, bukan cuma ekspor sawit atau batu bara.

Dulu bapak-bapak di warung kopi ngomongin harga karet, sekarang ngomongin adsense, “eh, channel YouTube kau udah dimonetisasi, bro?” katanya, kalau dulu sawah jadi modal investasi, sekarang ring light dan green screen jadi aset produktif.

Kreator ini ibarat UMKM zaman digital, bedanya, UMKM bikin cireng beku buat dijual di pasar, kreator bikin konten prank pura-pura jual cireng beku, namun yang laku sebaliknya malah kontennya. Rezeki memang bisa datang dari arah yang tak disangka-sangka, bahkan dari kamera depan HP.

Pertemuan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky dengan Asosiasi Kreator Konten Seluruh Indonesia (AKKSI) beberapa waktu lalu menegaskan hal itu. Negara akhirnya sadar, konten kreator bukan sekadar joget TikTok atau bikin parodi. Mereka ini mesin ekonomi baru.

Menteri bilang, konten kreator bisa nyumbang tenaga kerja, ekspor, PDB, bahkan investasi, singkatnya, dulu pemerintah bangga kalau ada pabrik baru berdiri, sekarang bisa juga bangga kalau ada channel baru trending.

Tapi, jangan keburu senang dulu, kalau hanya sebatas seremoni, bisa jadi kreator ini cuma dijadikan pajangan digital pemerintah, sama kayak artis dangdut yang diundang pas peresmian jalan tol, rame sebentar, habis itu bubar. Makanya, perlu regulasi, perlindungan hukum, insentif pajak, dan yang lebih penting, kode etik. Jangan sampai demi konten, ada yang bikin prank tabrak orang tua di jalan, itu bukan ekonomi kreatif, tapi ekonomi kreatif-kreatif-an.

Masalahnya, banyak kreator masih terjebak di konten viral doang, padahal, kata Menteri, konten harus kreatif sekaligus edukatif. Viral itu cepat naik, tapi cepat juga hilang. Vital itu penting, tahan lama, bahkan bisa jadi modal reputasi.

Kreator penting

Perumpamaannya begini, viral itu kayak mie instan, cepat kenyang tapi nggak sehat kalau kebanyakan. Vital itu kayak nasi uduk, lebih awet, bikin kuat, bisa dimakan pagi sampai malam. Konten edukatif, produktif, dan membangun bisa jadi nasi uduk digital bangsa.

Kenapa kreator penting bagi ekonomi? pertama, lapangan kerja baru, banyak anak muda jadi full-time konten kreator, bukan lagi jadi pengangguran terselubung. Kedua, ekspor budaya, konten kreator bisa jadi duta Indonesia, mengenalkan makanan, musik, hingga bahasa kita ke luar negeri, ketiga, PDB Digital, semakin banyak transaksi iklan dan endorse, semakin besar kontribusi ke ekonomi nasional, dan ke empat inovasi, kreator sering kali lebih cepat beradaptasi dibanding perusahaan besar. Artinya, negara harus lihat mereka bukan cuma sebagai penghibur, tapi juga entrepreneur digital.

Ada pepatah Jawa bilang, urip iku urup, hidup itu menyala, memberi manfaat, konten kreator jangan cuma bikin hidup sendiri menyala dengan uang adsense, tapi juga bikin terang orang lain. Edukasi, motivasi, bahkan hiburan sehat adalah bagian dari urup itu.

Kalau nelayan bisa bilang “rezeki sudah ada yang ngatur”, kreator juga harus ingat, algoritma bisa berubah, tapi akhlak jangan berubah. Jangan sampai demi subscriber, harga diri dan nilai bangsa digadaikan.

Oleh karena itu, konten kreator hari ini bukan lagi anak alay yang main HP doang. Mereka sudah jadi bagian mesin ekonomi nasional. Dari sawah ke studio, dari jala ke algoritma, dari pasar tradisional ke pasar digital, itulah transformasi ekonomi kita.

Pertanyaannya tinggal satu, apakah pemerintah serius menjadikan kreator sebagai mitra, atau sekadar komoditas? Dan apakah para kreator mau naik kelas, dari sekadar viral menjadi vital?. Pada akhirnya, seperti pepatah modern. “Like dan share bisa menghidupi, tapi integritaslah yang akan mengabadikan”.[***]

Terpopuler

To Top