DI ATAS kertas, angka inflasi tahunan Sumatera Selatan per Agustus 2025 tercatat 3,04 persen (yoy), bagi sebagian orang, angka ini hanyalah statistik dingin dalam laporan resmi. Namun di balik deretan digit itu, ada senyum lega para ibu yang pulang dari pasar murah di Terminal Sako, Palembang, dengan tangan menenteng beras, minyak, dan telur dengan harga lebih ramah di kantong.
Pepatah lama mengatakan, “Hidup bukan sekadar angka, tapi rasa di meja makan”. Angka inflasi mungkin terasa abstrak, tetapi di pasar murah, ia berubah menjadi kenyataan. Beras SPHP lima kilogram seharga Rp57.000, minyak goreng Rp11.700 per liter, bawang putih Rp19.000 per kilo, harga-harga ini menjadi jembatan antara data makroekonomi dan realita dapur keluarga.
Pasar murah yang digelar Pemerintah Provinsi Sumsel bersama BUMD dan Bank Indonesia Perwakilan Sumsel, sejatinya adalah sebuah terapi sosial.
Ia bukan sekadar transaksi jual-beli, melainkan vitamin ekonomi yang memperkuat daya tahan masyarakat, seperti kata pepatah Melayu, “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Dalam konteks inflasi, gotong royong antara pemerintah, lembaga keuangan, dan rakyat membuat beban terasa lebih enteng.
Kebijakan makro yang biasanya hanya berputar di ruang rapat, kini bisa dipegang langsung oleh ibu rumah tangga dalam bentuk sekarung beras atau sebotol minyak. Di sinilah letak pentingnya kebijakan populis yang tidak berhenti di kertas. Inflasi bukan hanya soal menjaga angka di bawah empat persen, tetapi juga tentang menjaga dapur tetap ngebul.
Analogi sederhana, inflasi ibarat suhu tubuh, sedikit panas bisa ditoleransi, tapi bila dibiarkan tinggi, tubuh akan lemah. Operasi pasar murah adalah obat penurun panas yang segera memberi efek menenangkan. Ia mungkin bukan penyembuh total, tapi cukup menjaga tubuh sosial-ekonomi agar tetap kuat melangkah.
Pesan moral dari pasar murah ini jelas, stabilitas ekonomi tidak boleh terpisah dari kesejahteraan rakyat kecil. Angka inflasi harus selalu punya “wajah kemanusiaan” agar tidak berhenti menjadi catatan statistik belaka.
Pada akhirnya, seperti pepatah Jawa, Urip iku urup, hidup itu menyala ketika memberi manfaat bagi sesama. Pasar murah di Sumsel bukan hanya strategi mengendalikan inflasi, tetapi juga bukti bahwa kebijakan yang menyentuh rakyat adalah api kecil yang mampu menghangatkan banyak dapur sekaligus.[***]