PALEMBANG, kota tertua di Indonesia, sering kita banggakan sebagai tanah bersejarah dengan jejak Sriwijaya dan Mahesa lawungnya Sungai Musi. Ikonnya jelas, Jembatan Ampera yang gagah dan Benteng Kuto Besak (BKB) yang kokoh. Kalau diibaratkan rumah, Palembang punya ruang tamu dengan dekorasi mewah, lantai marmer berkilau, dan lukisan antik yang bikin tamu terpana.
Tapi sayangnya, di pojokan ruang tamu itu ada sandal jepit bekas kehujanan, bau menyengat, dan segelas kopi basi. Jadinya, keindahan yang megah langsung terasa “kemakan” oleh hal-hal kecil yang bikin suasana kurang nyaman. Begitulah ibaratnya kondisi wisata Palembang saat ini, sejarah megah, tapi reputasi bisa runtuh oleh masalah sepele yang dibiarkan.
Coba bayangkan, seorang wisatawan dari luar kota datang dengan semangat, di kepalanya sudah terbayang romantisme menatap Ampera di malam hari, lampu warna-warni yang berkilau, plus semilir angin Musi. Tapi begitu duduk santai, tiba-tiba ada pengamen yang datangbukan sekadar menyanyi, tapi maksa minta bayaran via QRIS.
Lah, digitalisasi itu memang tren, tapi kalau dipakai buat maksa orang, itu namanya bukan Smart City, melainkan Smart Paksa. Wisatawan pun akhirnya lebih ingat “drama digital” ketimbang megahnya Benteng Kuto Besak.
Seperti kata pepatah, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, ribuan tahun sejarah bisa hilang dari ingatan hanya karena lima menit pengalaman buruk di lapangan.
Kamis (11/9/2025) malam, Satpol PP Palembang bersama Polrestabes melakukan operasi penertiban besar-besaran. Lokasinya strategis kawasan wisata Benteng Kuto Besak, Jembatan Ampera, Taman Nusa Indah, hingga Jalan Masjid Lama. Targetnya jelas pengamen liar yang meresahkan dan kios penjual minuman keras ilegal.
Kepala Satpol PP Palembang, Herison, menegaskan bahwa tujuan operasi bukan melarang orang mencari nafkah. “Kami ingin memastikan bahwa aktivitas tersebut tidak mengganggu kenyamanan wisatawan maupun warga lokal,” ujarnya.
Hasilnya? Sejumlah pemuda dan pengamen yang nongkrong di kawasan Ampera diperiksa, bahkan satu di antaranya didapati berada di bawah pengaruh minuman keras. Mereka diberi peringatan keras dan pernyataan tertulis. Herison menegaskan, “Jika kembali kedapatan, akan diberikan sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku”.
Tak hanya itu, warung-warung yang diduga menjual miras tanpa izin juga disasar, dari razia tersebut, sejumlah botol minuman fermentasi berbagai merek disita.
Herison juga mengajak masyarakat untuk berperan aktif menjaga ketertiban. “Kami meminta warga melaporkan jika menemukan pengamen dan penjual miras yang meresahkan,” katanya.
Palembang dikenal sebagai kota bersejarah dengan warisan Sriwijaya, tapi masalah yang mengganggu wisata justru “klasik”:pengamen maksa, kios miras, dan suasana malam yang rawan.
Analogi sederhananya punya mobil mewah tapi dibiarkan kotor, penuh debu, dan bau apek di dalam. Orang tidak lagi melihat kemewahan mobil itu, tapi lebih ingat baunya.
Inilah ironi wisata Palembang, Jembatan Ampera bisa runtuh wibawanya bukan karena gempa, tapi karena citranya rusak oleh kios miras di bawahnya. Benteng Kuto Besak bisa kalah pesona, bukan karena usia ratusan tahun, tapi karena wisatawan dicegat pengamen mabuk di depannya, sibuk bikin tagline, festival, hingga video promosi pariwisata memang penting. Tapi semua itu akan jadi “hiasan kosong” kalau realita di lapangan justru bertolak belakang.
Bayangkan wisatawan asing datang, lalu pulang dengan cerita begini “Palembang? Ah iya, kota tua itu indah, tapi pengamennya bikin trauma. Bahkan maksa bayar pakai QRIS” apakah itu promosi gratis? Iya, tapi promosi negatif.
Padahal, dalam ilmu pemasaran, yang paling ampuh bukan iklan berbayar, melainkan word of mouth. Kalau pengunjung puas, mereka akan cerita indah. Kalau kecewa, mereka juga cerita, tapi dengan nada negatif, dan itu bisa viral lebih cepat daripada promosi resmi.
Herison sudah mengajak masyarakat aktif melapor. Tapi masalahnya, apakah warga sudah benar-benar merasa “pemilik rumah”? Wisata itu ibarat tamu, dan masyarakat adalah tuan rumah.
Kalau tamu disambut dengan ramah, ruang tamu bersih, dan hidangan hangat, dia bakal betah. Tapi kalau baru masuk sudah ditodong pengamen, lalu suasana penuh kios miras ilegal, tamu mana yang mau kembali?. Pepatah Jawa bilang “Tamu iku titipan Gusti”, kalau tamu sampai kecewa, berarti tuan rumah tidak menjalankan amanah dengan baik.
Kokohnya pondasi
Ada tiga alasan mengapa masalah sepele ini harus ditangani serius, pertama citra wisata, sekali wisatawan kecewa, butuh waktu lama untuk mengembalikan kepercayaannya, ke dua investasi jangka panjang, maksudnya wisata bukan cuma soal tiket masuk, tapi efek domino adalah kuliner, hotel, transportasi, hingga UMKM,
Ke tiga keamanan sosial, miras ilegal dan pengamen mabuk bukan hanya merusak citra wisata, tapi juga rawan memicu tindak kriminal. Kalau dibiarkan, Palembang bisa jatuh pada stigma: “kota tua yang indah tapi tidak nyaman dikunjungi.”
Pemerintah sering bangga dengan festival, lomba, atau even-even wisata. Tapi jangan lupa, wisata bukan cuma soal acara seremonial. Kalau masalah sepele tak dituntaskan, semua itu hanya jadi “kembang api sesaat” indah, tapi cepat padam.
Ingat pepatah “Rumah megah bukan diukur dari tingginya atap, tapi dari kokohnya pondasi” pondasi pariwisata adalah pengalaman dasar aman, nyaman, tertib.
Jangan remehkan hal kecil, karena justru hal kecil yang menentukan besar atau tidaknya nama kota. Sejarah Sriwijaya tidak akan pernah pudar, tapi citra wisata bisa rusak hanya karena segelintir pengamen maksa atau kios miras liar.
Palembang punya modal sejarah yang luar biasa, dari Sungai Musi, Jembatan Ampera, hingga Benteng Kuto Besak, semuanya harta tak ternilai. Tapi modal itu bisa cepat luntur jika pengalaman wisata dibiarkan tercoreng oleh hal-hal remeh.
Operasi Satpol PP adalah langkah penting, tapi harus konsisten, bukan sekadar razia musiman. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku wisata harus sama-sama sadar membangun pariwisata itu bukan hanya soal “mengundang tamu,” tapi juga menyiapkan rumah agar tamu betah.
Jika Palembang ingin naik kelas sebagai destinasi wisata dunia, maka yang perlu dibereskan bukan hanya cat tembok ikon sejarah, tapi juga “kerikil kecil” di jalan menuju sana sebab wisata itu soal kesan, dan kesan lahir dari detail kecil. Palembang kota tua yang megah, jangan sampai citranya tumbang hanya karena masalah sepele.[***]