PEPATAH lama bilang “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, maka di era digital sekarang pepatahnya berubah jadi “scan-scan ke awal, transfer-transfer ke rekening”. Ya, begitulah kira-kira gambaran masa depan transaksi lintas negara dengan QRIS antarnegara dan Local Currency Transaction (LCT) yang sedang diuji coba Indonesia-Tiongkok.
Sebagai penulis yang sering nongkrong di warung kopi sambil mendengar curhat pedagang kecil, saya melihat langkah ini bukan sekadar jargon ekonomi. Ini senjata baru bagi UMKM Indonesia, bukan hanya untuk bertahan, tapi juga menyerang dalam arti merambah pasar global tanpa perlu drama konversi dolar yang bikin pusing.
Sebut saja Pak Tono, pemilik warung kelontong di Palembang, dulu dia hanya pusing kalau pembeli bayar pakai receh segenggam. Sekarang, dengan QRIS antarnegara, bayangkan dia bisa terima pembayaran langsung dari pembeli di Shanghai. Tinggal scan, saldo masuk, kalau dulu dagangannya cuma di kampung, kini bisa sampai luar negeri.
Lucunya, saat pertama kali coba QRIS, Pak Tono sempat panik “Lho, kok duitnya masuk nggak lewat teller bank? Apa jangan-jangan ini sulap?”. Untung ada penjelasan dari petugas BI yang sabar, akhirnya Pak Tono paham kalau ini bukan dukun, tapi teknologi finansial modern.
Di sinilah saya melihat daya tariknya QRIS dan LCT itu bukan teori rumit untuk para ekonom doang, tapi solusi nyata yang bisa bikin dagang kecil rasa Internasional.
Kalau ditarik ke atas, ada analisa menarik, LCT Indonesia–Tiongkok sudah tembus 6,23 miliar dolar AS ekivalen di Januari–Juli 2025, naik hampir tiga kali lipat dari tahun lalu. Ini sinyal bahwa Indonesia pelan-pelan mengurangi ketergantungan pada dolar.
Kenapa penting? karena terlalu bergantung pada satu mata uang ibarat menggantungkan hidup pada satu keran air, kalau kerannya macet, ya kita kehausan. Dengan LCT, kita bisa buka keran lain, yuan, yen, ringgit, bahkan dirham. Risiko lebih kecil, ongkos konversi juga lebih hemat.
Artinya, bukan cuma UMKM yang diuntungkan, ekonomi nasional juga lebih stabil, kalau pepatah bilang “sediakan payung sebelum hujan”, maka LCT inilah payungnya di tengah badai global.
Saya suka membandingkan QRIS dengan kopi sachet, dulu kalau mau minum kopi enak, harus repot beli bubuk, gula, air panas, takaran pas. Sekarang tinggal sobek sachet, tuang, aduk, beres. Sama dengan QRIS, dulu transaksi lintas negara harus pakai dolar, transfer bank lama, biaya tinggi, sekarang? tinggal scan QR, duit langsung masuk, nggak pake ribet.
Tapi, seperti kopi sachet, rasanya tetap tergantung cara menyajikan, kalau UMKM nggak mau belajar, ya QRIS tetap cuma jadi stiker nempel di meja, butuh literasi digital, pendampingan, dan keberanian pedagang untuk benar-benar memanfaatkannya.
Ada pepatah Jawa bilang “alon-alon asal kelakon”, tapi dalam dunia bisnis digital, pepatahnya harus dimodifikasi “cepet-cepet asal selamat” UMKM yang terlalu lambat belajar teknologi bisa ketinggalan.
QRIS antarnegara dan LCT bukan hanya soal pembayaran, tapi soal mindset, UMKM harus berani berpikir bahwa dagangannya bukan hanya buat tetangga, tapi juga untuk orang Singapura, Jepang, bahkan Tiongkok.
Di sinilah pemerintah juga punya peran penting, jangan biarkan UMKM jalan sendiri. Edukasi, pendampingan, bahkan humor dalam sosialisasi harus dipakai supaya masyarakat nggak alergi dengan istilah ribet seperti “LCT” atau “cross-border payment.”
Bagi saya, langkah Indonesia -Tiongkok memperkuat LCT dan QRIS antarnegara adalah kombinasi antara strategi ekonomi jangka panjang dan peluang keseharian UMKM.
UMKM dapat pasar lebih luas, negara dapat stabilitas ekonomi, semua orang dapat kemudahan.
Jadi kalau ada yang masih bilang teknologi keuangan itu ribet, coba ingat cerita Pak Tono, dari warung kelontong kampung bisa langsung jadi “merchant internasional”, tinggal scan, saldo masuk, senyum merekah.
Karena pada akhirnya, dagang itu soal rasa percaya, dan dengan QRIS plus LCT, kepercayaan itu tak lagi terbatas jarak.[***]