KATANYA, “jangan jadi kutu buku, nanti kaku”
Lho, siapa bilang? Justru kalau kutu buku itu fleksibel, bisa nongkrong di rak filsafat, lompat ke novel cinta, terus pindah ke komik Doraemon, itu namanya olahraga pikiran, bukan kaku.
Nah, di Indonesia, ada perpustakaan-perpustakaan estetik yang bukan cuma bikin mata adem dan feed Instagram kece, tapi juga jadi ruang inklusif. Tempat di mana semua orang, dari anak kecil sampai kakek-nenek, dari yang baca novel sampai yang baca braille punya spot nyaman buat menikmati literasi. Inilah yang disebut wisata literasi yang ramah semua kalangan.
Kalau mampir ke Perpustakaan Umum Kota Samarinda, jangan kaget kalau ketemu buku-buku braille. Bukan brilio, ya, itu portal gosip. Di sini, literasi memang benar-benar setara.
Orang yang awas bisa baca dengan mata, teman-teman difabel bisa baca dengan jari. Pepatah bilang, “tangan yang menelusuri huruf, sama berharganya dengan mata yang menatap kata”. Ini contoh perpustakaan yang ngerti kalau akses itu hak, bukan bonus.
Di Perpustakaan Soeman HS, Riau, ada ruang anak yang isinya bukan cuma buku bergambar, tapi juga aktivitas yang bikin bocah betah. Jadi, kalau biasanya anak-anak sibuk main gadget, di sini mereka bisa main “gadget analog” alias buku cerita. Lebih sehat, lebih hemat, dan jelas nggak bikin emak-emak pusing karena kuota jebol.
Pernah nggak ngerasa pusing baca buku di kamar terus?,coba mampir ke Perpustakaan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di sini ada spot baca outdoor dengan pemandangan hijau. Jadi, sambil baca novel Tere Liye, bisa sambil denger burung berkicau. Ini kayak pepatah Bugis “Rebba sipatokkong, mali siparappe”, kalau jatuh saling menopang, kalau hanyut saling mengangkat. Nah, literasi di Gowa juga gitu, saling menopang manusia dengan alam.
Di Perpustakaan TIM Jakarta dan Jusuf Kalla Library Depok, suasananya modern banget, interior kece, kaca besar, rak buku rapi, ruang diskusi ada, bahkan kadang-kadang jadi ruang pameran. Kalau perpustakaan ini manusia, mungkin sudah jadi influencer literasi, rajin upload, cakep, tapi tetap berisi.
Wisata literasi yang inklusif itu bikin kita sadar, perpustakaan bukan sekadar gudang buku, tapi cermin masyarakat. Kalau ruangnya ramah anak, berarti ada harapan generasi tumbuh sehat. Kalau ada braille, berarti literasi itu adil, kalau ada spot outdoor, berarti ilmu bisa tumbuh bersama alam.
Pepatah Minang bilang, “alam takambang jadi guru”, dan pepatah modern bilang, “perpustakaan estetik jadi destinasi healing”, dua-duanya benar.
Jadi, kalau lagi nyari tempat wisata, jangan cuma ke pantai atau gunung, coba sekali-kali ke perpustakaan, di sana, kamu bisa jalan-jalan tanpa ongkos cukup buka buku, dunia terbuka.
Ingat, perpustakaan inklusif adalah rumah bagi semua, karena literasi sejati bukan hanya tentang membaca, tapi juga tentang membuka ruang untuk sesama.[***]