KALAU Tony Stark alias Iron Man punya reaktor mini di dada yang bikin badannya selalu bertenaga baja, maka Sumatera Selatan sekarang juga lagi pakai “baju besi” ekonomi surplus dagang sebesar US$3,08 miliar. Angka ini bikin dada jembar, alis terangkat, dan senyum melebar sampai ke pojok bibir. Coba pikirkan saja, jika ekspor naik, dan sebaliknya impor malah turun drastis, jadinya neraca perdagangan Sumatera Selatan kinclong bak motor baru keluar dealer.
Tapi, pepatah lama bilang “Baju boleh baja, tapi baut kalau longgar tetap bisa copot juga”. Nah, itulah ironi yang patut kita renungkan. Meski Sumsel memang sedang hemat luar biasa dalam urusan impor, terutama mesin dan peralatan. Ibarat warung kopi, dagangan laku keras, kursi selalu penuh, tapi pemiliknya ogah ganti kursi reyot yang sudah bunyinya “kriet…kriet…” tiap diduduki pelanggan.
Kalau bicara ekspor, Sumsel benar-benar tampil sebagai “Iron Man” dengan jurus pamungkasnya disebutkan dalam rilis BPS Sumsel, ekspor nonmigas naik 5,73%, pertanian melejit 102,33%, karet melonjak hampir 32%, dan pulp naik 8,56%, luar biasa bukan?
Bayangkan seorang petani karet di pedalaman Banyuasin, dulu dia merasa hasil sadapannya hanya cukup buat beli minyak goreng dan gula. Sekarang, berkat harga yang lumayan membaik, hasil karet itu ikut menyumbang surplus miliaran dolar. Rasanya seperti menang undian arisan, tapi yang dapat hadiah bukan cuma satu orang, melainkan seluruh daerah.
Industri pengolahan pun ikut berjaya, Pulp kayu, yang biasanya hanya terdengar di telinga mahasiswa teknik kehutanan, kini jadi pahlawan ekspor. Kalau kata pepatah, “Tak ada gading yang tak retak, tapi kalau pulp masih utuh, jangan disia-siakan”
Jadi benar adanya, Sumsel tidak cuma bergantung pada migas. Justru nonmigas-lah yang bikin dada ekonomi ini membusung.
Nah, sekarang kita intip sisi lain, Impor Sumsel turun 54,67%, dari sudut pandang kasir negara, ini bagus belanja hemat, saldo aman. Tetapi dari sisi dapur industri, ini bisa bikin kening berkerut.
Impor mesin dan peralatan anjlok 63,44%, bayangkan sebuah pabrik karet atau sawit yang mesinnya sudah seperti kipas angin jadul bunyinya kencang, anginnya makin pelit. Kalau nggak diganti onderdil baru, lama-lama bukan produksi naik, malah operatornya yang stres.
Pepatah Jawa bilang, “Ngirit itu perlu, tapi kalau sampai lilin dipakai terangin stadion, ya nggak cukup juga”. Begitu juga impor barang modal. Kalau ditekan habis-habisan, industri bisa seperti motor tua yang jarang ganti oli tetap bisa jalan, tapi siap-siap mogok di tengah jalan.
Angka surplus US$3,08 miliar tentu membuat headline jadi manis. Media menulis, pejabat tersenyum, dan rakyat pun merasa bangga. Tapi, kita tidak boleh lupa bahwa surplus besar bukan berarti semua sehat. Bisa jadi ini karena ekspor memang naik, bisa juga karena impor kebablasan ditahan.
Analogi gampangnya begini, ada seorang bapak rumah tangga yang gajinya naik. Tapi dia terlalu hemat, sampai tidak pernah ganti kompor yang sudah bocor. Akhirnya, uang memang banyak di dompet, tapi dapur tetap berasap. Kaya di rekening, sengsara di kenyataan.
Begitulah Sumsel, kaya karena ekspor, hemat dalam impor, tapi harus hati-hati jangan sampai industri jadi “pura-pura bahagia”
Ingat! untuk para pemangku kebijakan adalah jangan kebablasan menekan impor barang modal, mesin, peralatan, kendaraan industri, semua itu bukan musuh, melainkan sahabat. Kalau mereka tidak masuk, pabrik bisa stagnan.
Iron Man bisa terbang karena ada teknologi canggih di balik kostumnya. Tapi kalau baut dan onderdilnya aus, dia hanya akan jadi pajangan di museum. Begitu juga Sumsel, kalau mesin-mesin industri tidak diperbarui, surplus dagang hanya jadi angka indah yang rapuh.
Kita tentu ingin Sumsel bukan hanya kaya di kertas, tetapi juga kuat di lapangan. Caranya sederhana seimbangkan ekspor yang kuat dengan impor barang modal yang sehat.
Hidup hemat memang baik. Ibu rumah tangga sering berpesan, “Kalau bisa ditambal, jangan beli baru.” Tapi ekonomi tidak bisa terus-terusan ditambal. Ada waktunya ganti ban, ada waktunya beli mesin baru.
Pepatah Minang bilang “Kalau ingin beras segantang, tanamlah padi segantang. Kalau ingin hasil besar, investasikan juga besar”. jadi, jangan ragu untuk impor barang modal yang memang penting demi menjaga mesin produksi tetap ngacir.
Akhir kata, mari kita lihat Sumsel seperti warung kopi favorit kita. Pelanggan ramai, kopi laris, omzet naik. Tapi kalau kursinya masih reyot dan hampir patah, pengunjung lama-lama pindah ke warung sebelah.
Sumsel sekarang sedang jadi Iron Man ekonomi Indonesia bagian barat, surplus dagang menebal, petani sumringah, pabrik tersenyum. Namun ingat, bahkan Iron Man pun butuh bengkel dan onderdil baru, jangan sampai kostum baja ini berubah jadi karatan hanya karena kita terlalu irit belanja.
Jadi, hematlah dengan bijak, kaya boleh, tapi jangan sampai kursinya tetap reyot, karena ekonomi yang sehat bukan hanya tentang angka di neraca perdagangan, tapi juga tentang mesin yang tetap hidup, petani yang tetap semangat, dan industri yang tetap berdetak.[***]