Perbankan & Keuangan

Petani Hutan Masuk Radar Perbankan

ist

DULU bank cuma sibuk ngurusin orang kota dengan jas licin dan tanda tangan wangi parfum impor, kini giliran petani hutan ikut masuk radar. Ya, setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) gandeng Kementerian Kehutanan lewat Nota Kesepahaman terbaru di Bandar Lampung, nasib petani hutan yang biasanya dipandang sebelah mata akhirnya mulai diperhitungkan.

Sederhananya begini: dulu kalau petani hutan mau pinjam modal, alamatnya ke tengkulak atau koperasi kampung yang bunganya bisa bikin kepala pening kayak minum jamu basi. Tapi dengan kerja sama ini, ada peluang bank mulai melirik mereka. Bahasa kerennya perhutanan sosial bisa jadi nasabah prioritas baru.

Bayangkan pertemuan unik: bank yang biasanya sibuk menghitung suku bunga, tiba-tiba masuk hutan yang penuh dengan damar, kopi, dan karet. Perumpamaannya mirip kayak dosen ekonomi yang nyasar ke sawah, lalu kaget karena teori demand-supply bisa langsung dipraktikkan lewat harga singkong.

Petani hutan selama ini dianggap tidak punya agunan. Rumah masih panggung, sawah numpang di pinggir hutan negara, dan jaminan satu-satunya cuma keringat. Nah, lewat MoU ini, jaminan itu bukan lagi sekadar “keringat bau solar”, tapi bisa berubah jadi nilai ekonomi karbon. Pepatah lama bilang, “kalau tak ada rotan, akar pun jadi”. Kini versinya, “Kalau tak ada sertifikat tanah, karbon pun bisa jadi agunan.”

Tentu saja, masyarakat menunggu hasil nyata. Nota kesepahaman (MoU) jangan berhenti di papan bunga ucapan selamat atau di laci pejabat. Petani hutan tak butuh nota panjang, mereka butuh nota kontan hasil panen yang laku keras. Bank memang bisa jadi penyelamat, tapi kalau syarat pinjamannya kayak ujian CPNS pakai meterai, slip gaji, dan KTP yang tak pernah fotokopiannya lurus ya sama saja, ujung-ujungnya balik lagi ke tengkulak.

Namun, kita mesti optimis. Kerja sama OJK dan Kementerian Kehutanan ini ibarat membuka pintu pagar besar menuju hutan peluang. Petani hutan yang biasanya dicap kolot, kini bisa punya akses finansial modern.

Kalau dulu mereka cuma bisa menabung di celengan ayam dari tanah liat, sekarang bisa punya rekening tabungan dengan kartu ATM. Itu pun kalau sinyal internet di kampung masuk, kalau tidak ya ATM tetap jadi singkatan “Asal Tahan Mimpi.”

]Jangan lupa, inti dari kerja sama ini juga memperkenalkan potensi nilai ekonomi karbon. Kalau biasanya petani hutan hanya panen kopi, singkong, atau madu hutan, kini mereka bisa “panen udara bersih”. Ibarat kata, kalau selama ini oksigen cuma kita hirup gratis, ke depan bisa jadi rekening berjalan.

Ini seperti menjual “inhalasi” dengan label halal dan ramah lingkungan. Kedengarannya aneh, tapi begitulah dunia modern. Negara maju rela bayar supaya hutan kita tetap hijau. Jadi, jangan kaget kalau suatu hari petani hutan di Lampung bisa bilang “Saya punya dua komoditas unggulan kopi robusta dan oksigen segar grade A.”

Dalam budaya kita ada pepatah “Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga”. Begitu juga dengan kebijakan. Sebagus apapun MoU, kalau tidak dijalankan dengan serius, ya jatuhnya cuma jadi mupu-mupu alias perhiasan di dinding kantor.

Maka dari itu, kerja sama ini harus benar-benar mengalir sampai ke akar. Jangan hanya seremonial dengan tenda mewah, seminar nasional, dan pidato berapi-api. Petani hutan butuh pembiayaan nyata, bukan tepuk tangan. Mereka ingin modal untuk beli bibit kopi, mesin pengolah damar, atau sekadar perahu kecil agar bisa angkut hasil panen keluar hutan.

Kalau OJK serius, perbankan serius, dan Kementerian Kehutanan konsisten, maka petani hutan akan naik kelas. Dari yang tadinya cuma jadi “penjaga hutan gratisan”, kini bisa jadi pelaku ekonomi hijau yang punya daya tawar di pasar.

Akhirnya, sinergi OJK dan Kementerian Kehutanan ini harus kita sambut positif. Jangan dilihat hanya sebagai kertas MoU, tapi sebagai peluang emas. Karena pada dasarnya, petani hutan bukan orang yang minta-minta. Mereka pekerja keras yang tahu cara menjaga bumi. Bedanya, selama ini dompet mereka lebih tipis dari daun jati muda.

Dengan akses permodalan lewat bank, ditopang nilai ekonomi karbon, petani hutan bisa berkembang. Bukan hanya dapur mereka yang ngebul, tapi juga ekonomi desa ikut hidup. Dan ingat pepatah Jawa “Sapa nandur, bakal ngundhuh” Barang siapa menanam, dia yang menuai. Kalau petani hutan menanam pohon, menjaga hutan, lalu bank memberi modal, maka hasilnya adalah panen kesejahteraan bersama.

Petani hutan yang dulu hanya jadi penjaga rimba, kini bisa jadi nasabah bank dengan masa depan cerah. Hutan lestari, rakyat mandiri, ekonomi hijau pun bersemi.[***]

Terpopuler

To Top