KATANYA, orang yang jatuh cinta itu sama seperti penyelam rela menahan napas demi melihat sesuatu yang indah. Bedanya, kalau penyelam di Alor menahan napas untuk melihat terumbu karang warna-warni, kita di darat sering menahan napas karena tagihan listrik belum dibayar. Ya begitulah hidup, di laut penuh ikan pari, di darat penuh cicilan yang ngeri-ngeri sedap.
Tapi di balik kelakar itu, Alor ternyata sedang naik daun, lewat Famtrip wisata selam yang digelar Kementerian Pariwisata, beberapa pelaku usaha diving dari Malaysia dan Singapura diajak nyemplung langsung ke laut Alor. Bukan sekadar nyelam gaya “selfie di dasar laut”, tapi benar-benar melihat betapa wisata bahari Alor ini, seperti warung makan Padang, apa pun menunya, bikin nagih. Ada Kalabahi Bay, Apuri Bay, sampai Wolang Wall, semua nama spot selamnya terdengar kayak nama penyanyi dangdut yang siap menghibur turis.
Dan jangan salah, highlight terbesar bukan cuma pemandangan bawah lautnya, tapi dugong legendaris di Pantai Mali. Bayangkan, peserta Famtrip bisa ketemu “Mawardi”, si duyung ramah yang kayak selebritas lokal. Dugong ini lebih terkenal daripada ketua RT, karena tiap kali nongol langsung bikin tamu berteriak “uwow!”. Kalau dugong bisa masuk Instagram, mungkin dia sudah centang biru.
Nah, yang bikin wisata bahari Alor makin lengkap adalah paket “land tour”. Karena penyelam profesional butuh waktu jeda sebelum naik pesawat, mereka diajak mampir ke Desa Takpala. Di situ, tamu disambut tarian Lego-Lego dan Cakalele. Percaya atau tidak, orang asing yang tadinya keren pakai wetsuit di laut, begitu joget bareng suku Abui, langsung berubah jadi “om-om kaku di kondangan”. Tapi justru di situlah letak serunya wisata bukan cuma soal memandang, tapi juga ikut bergerak.
Selepas itu, peserta menyeberang ke Desa Umapura. Di sini, wisata selam berubah jadi wisata “menyelam dalam benang”. Para tamu diajak lihat proses menenun, dari kapas sampai jadi kain. Warna-warnanya alami, motifnya rumit, seperti karang laut yang dipindahkan ke kain. Pepatah bilang, “benang yang disulam dengan sabar bisa jadi warisan.” Nah, tenun Umapura ini bukti pepatah itu hidup.
Kalau direnungkan, wisata bahari Alor ini ngajarin banyak hal. Pertama, laut itu ibarat hati manusia kalau dijaga, dia indah, tapi kalau dirusak, jadinya keruh. Pepatah dagelan bisa bilang “Laut tanpa ikan seperti dompet tanpa uang, ada tapi bikin nangis.” Makanya promosi wisata selam harus diiringi kesadaran menjaga ekosistem. Jangan sampai orang datang nyelam, pulangnya cuma bawa karang patah buat hiasan akuarium.
Kedua, budaya lokal di Alor seperti jangkar dia menahan kapal pariwisata supaya tidak hanyut jadi sekadar bisnis. Wisata bahari tanpa budaya ibarat es teh manis tanpa gula, ada bentuknya tapi nggak ada rasanya. Dengan tarian Lego-Lego, dengan tenun Umapura, wisata selam di Alor jadi punya “aftertaste” yang panjang, seperti kopi robusta yang bikin mata melek sampai subuh.
Puncak acara Famtrip adalah networking dinner, bayangkan, pengusaha dive center, land tour, dan pejabat setempat duduk semeja, berdiskusi tentang masa depan wisata bahari Alor. Kalau dugong Mali ikut hadir, mungkin dia bakal mengangkat sirip dan berkata “Jangan cuma sibuk promosi, tapi pikirkan juga keberlanjutan. Saya kan butuh rumah yang tenang, bukan jadi seleb tanpa privasi.”
Jelas promosi itu penting, tapi pariwisata berkelanjutan jauh lebih penting. Kalau karang rusak, ikan kabur, dan dugong pindah alamat, wisata selam bisa bubar jalan. Pepatah bilang, “Air yang tenang jangan disangka tak ada buaya.” Nah, laut yang indah jangan disangka tak bisa rusak.
Cerita tentang wisata bahari Alor atau dugong Mali yang jadi ikon lokal. Lebih dari itu, ini refleksi bahwa wisata selam adalah cara Indonesia “menjual jati diri” ke dunia. Kita bukan hanya negeri karang dan ikan, tapi juga negeri tarian dan tenun. Laut memberi pengalaman, darat memberi makna.
Jadi, kalau ada pepatah baru dari Alor, mungkin bunyinya begini “Barang siapa menyelam di laut Alor, ia akan menemukan cinta, barang siapa menari Lego-Lego, ia akan kehilangan gengsi”.
Dan di antara gelak tawa dagelan ini, terselip pesan serius, mari menjaga laut, menghargai budaya, dan membangun pariwisata yang bukan hanya laku jual, tapi juga adil bagi semua, karena pada akhirnya, pariwisata bukan sekadar tamu datang dan pergi, tapi bagaimana tuan rumah bisa tetap tersenyum meski rumahnya ramai dikunjungi.
Kalau dugong Mali saja bisa sabar menyambut turis, masa kita nggak bisa sabar membangun wisata bahari Alor jadi destinasi kelas dunia?.[***]