Tekno

AI Bali: Ketika Tari Kecak Bertemu Kecerdasan Buatan

ist

ORANG bilang, dunia ini sudah masuk era digital, tapi kalau di Bali, dunia digital itu kini sudah siap “menari” bersama Tari Kecak. Bayangkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bukan cuma jadi urusan server dingin dan kabel optik, tapi hadir sebagai teman baru yang ikut menjaga budaya dan pariwisata Pulau Dewata.

Langkah Universitas Udayana meluncurkan Road to AI Center jadi semacam gebrakan, kalau biasanya kampus sibuk riset soal roket atau robot, Udayana malah bikin jalur unik AI untuk budaya dan pariwisata. Lha, ini menarik sekali, bos. AI yang sering kita anggap dingin seperti kalkulator, tiba-tiba dipasangkan dengan budaya Bali yang hangat, penuh warna, dan kaya filosofi.

Pepatah Jawa bilang Sopo sing nandur, bakal ngunduh” Siapa yang menanam, dia yang menuai. Nah, apa yang ditanam Udayana hari ini adalah benih pemanfaatan AI berbasis kearifan lokal. Kalau dikelola dengan serius, buahnya bisa berupa pariwisata yang makin maju, budaya yang makin lestari, bahkan ekonomi yang makin moncer.

Bayangkan seorang turis asal Korea datang ke Ubud, ia duduk menyaksikan Tari Legong, lalu buka aplikasi berbasis AI, seketika, suara pemandu digital muncul “Gerakan tangan penari ini melambangkan kelembutan, sementara matanya menuturkan kisah cinta Rama dan Shinta”

Seketika si turis bukan hanya menonton, tapi juga mengerti, inilah kekuatan AI Bali bisa jadi penerjemah budaya. Tak ada lagi istilah “nonton pertunjukan tapi bingung, ini orang goyang kenapa”.

Di sektor kuliner, AI bisa jadi teman nongkrong digital, wisatawan cukup bilang, “Saya ingin makanan pedas tapi halal,” langsung disarankan ayam betutu atau sate lilit. Kalau biasanya turis kebingungan membedakan lawar kuwir dengan lawar ayam, AI bisa jadi kamus rasa yang praktis.

Bukan cuma pariwisata, AI juga bisa jadi “arsiparis modern”, tarian, gamelan, lontar, cerita rakyat, bisa didokumentasikan dalam bentuk interaktif. Generasi muda Bali yang lebih akrab dengan scrolling daripada membaca lontar kuno. AI hadir sebagai jembatan: dari layar ponsel, mereka bisa belajar tentang sejarah leluhur.

Seperti pepatah “Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas.” Nah, lewat digitalisasi AI, warisan budaya Bali benar-benar bisa bertahan lintas zaman.

Bali bukan sendirian, Jepang sudah lebih dulu pakai AI untuk pariwisata dari robot resepsionis di hotel sampai sistem penerjemah otomatis. Korea Selatan pakai AI untuk memandu turis di Gyeongbokgung Palace. Bedanya, Udayana punya keunikan bukan sekadar jualan teknologi, tapi AI plus kearifan lokal.

Kalau Jepang punya anime, Bali punya Tari Kecak, kalau Korea punya K-Pop, Bali punya gamelan. Tinggal bagaimana AI bisa jadi spotlight yang membuat budaya Bali makin mendunia.

Tentu, kita tak bisa menutup mata, AI butuh listrik, server, konektivitas, dan talenta digital, kalau jaringan internet di pelosok Bali masih sering putus nyambung kayak hubungan LDR, ya repot juga. Di sinilah pemerintah harus hadir: memperkuat infrastruktur digital, menyiapkan regulasi, sekaligus mendorong literasi digital.

Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital, sudah bilang “Indonesia dengan 280 juta penduduk butuh literasi digital dan talenta digital.” Betul sekali. Karena secanggih apa pun AI, kalau yang pakai tidak melek digital, hasilnya bisa seperti punya iPhone terbaru tapi cuma dipakai buat main ular.

Penting diingat, AI bukan untuk menggantikan manusia, jangan takut Tari Kecak diganti robot, atau gamelan dimainkan mesin. AI hanyalah alat bantu, seperti mikrofon yang membuat suara lebih jelas, atau kamera yang membuat senyum bisa dikenang.

Peribahasa bilang, “Air tenang menghanyutkan” AI ini mirip, diam-diam saja, tapi kalau dipakai benar bisa menghanyutkan dunia dengan keindahan Bali.

Kalau hari ini Udayana menanam benih AI di bidang budaya dan pariwisata, besok lusa kita bisa lihat Bali jadi pionir dunia. Pariwisata makin canggih, budaya makin lestari, ekonomi rakyat ikut naik.

AI di Bali adalah contoh bahwa teknologi tidak harus meninggalkan akar tradisi. Justru, ketika AI dipeluk dengan kearifan lokal, hasilnya bisa bikin dunia berkata “Bali bukan hanya indah di mata, tapi juga cerdas di era digital”

Dan siapa tahu, di masa depan, ketika orang menyebut “AI Bali”, yang terbayang bukan robot berkepala besi, tapi Tari Kecak yang bergema cak… cak… cak… berpadu dengan kecerdasan buatan yang membuat budaya tetap hidup.[***]

Terpopuler

To Top