DI Musi Banyuasin [Muba], asap itu seperti tamu tak diundang yang bandel, tiap tahun, ia datang seenaknya, bikin hidung pedih, mata perih, dan nama daerah tercoreng. Kebakaran hutan, kebun, dan lahan (Karhutbunlah) ibarat drama sinetron Ramadan sudah tahu alurnya, tetap saja tayang tiap tahun, bedanya, kalau sinetron bisa bikin baper, kalau Karhutbunlah bikin sesak nafas.
Baru-baru ini, Bupati Muba H. M. Toha menggelar Apel Siaga Karhutbunlah 2025, lengkap dengan tujuh arahan strategis yang terdengar manis, seperti resep kue lebaran ada sinkronisasi satgas, penegakan hukum, hingga program “Satu Desa Satu Pompa”.
Semuanya tampak rapi di atas kertas, tapi mari kita jujur, bukankah tiap tahun juga ada apel, ada komitmen, ada janji, tapi api tetap saja lebih cepat berlari ketimbang komitmen yang jalan di tempat?
Pepatah bilang, “Air beriak tanda tak dalam” Kadang janji dan seremonial penuh tepuk tangan justru seperti riak, heboh di permukaan tapi cetek di kedalaman. Pertanyaannya, kenapa Karhutbunlah masih jadi masalah klasik? Apakah kita kurang tegas, atau program yang dijalankan setengah hati hanya demi memenuhi syarat laporan tahunan?
Mari kita ibaratkan begini, kalau api itu maling, maka setiap tahun malingnya masuk lewat jendela yang sama, jam yang sama, tapi kita masih sibuk pasang pita di pagar depan. Bupati mengingatkan soal penegakan sanksi, tapi di lapangan, pembakaran pascapanen masih jadi rahasia umum, seperti orang pura-pura diet tapi malam-malam masih ngemil gorengan di dapur.
Kelemahan kita ada di eksekusi, Posko kebakaran, regu perusahaan, hingga pemanfaatan Dana Desa memang penting, tapi sering kali jalan seadanya. Ada posko, tapi petugasnya nongkrong main kartu. Ada regu perusahaan, tapi peralatannya lebih mirip alat camping. Ada Dana Desa, tapi pompanya karatan. Kalau begini, bagaimana api bisa kalah?
Namun, kita juga tak bisa melempar semua ke pundak pemerintah. Masyarakat pun harus sadar, membakar lahan itu mungkin dianggap “praktis”, tapi dampaknya tak sebanding dengan efisiensi sesaat. Ibarat orang malas nyapu, lalu sampahnya disapu ke bawah karpet akhirnya rumah tetap bau.
Perusahaan pun sama, jangan hanya sibuk menghitung laba, tapi lupa membekali regu pemadam. Kalau keuntungan dipetik dari tanah Muba, jangan biarkan tanah yang sama berubah jadi bara. Jangan sampai regu pemadam perusahaan hanya ada di papan nama, tapi kalau api muncul, yang turun malah warga sekitar bawa ember.
Padahal Pemkab Muba pernah punya gebrakan bagus, ingat beberapa tahun lalu, ada program Desa Mandiri Pangan dan Energi yang memanfaatkan limbah sawit jadi bahan bakar ramah lingkungan. Tujuannya jelas kasih jalan keluar biar masyarakat tak lagi membakar lahan untuk buka kebun. Ada juga pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA) yang dilatih langsung teknik pemadaman dini dan diberi peralatan sederhana. Itu contoh nyata langkah konkret yang patut diacungi jempol.
Sayangnya, semangat itu sering kendor di tengah jalan, alat-alat yang dulu dibagikan, ada yang sekarang jadi jemuran baju. Pelatihan yang dulu gencar, lama-lama cuma jadi kenangan brosur. Padahal kalau konsisten, Muba bisa jadi role model nasional. Pepatah bilang, “Sepandai-pandai tupai melompat, kadang jatuh juga”. Begitu pula, sepandai-pandai Pemkab bikin program, kalau tak ada pengawasan berkelanjutan, ya tetap jatuh ke lubang asap yang sama.
Solusi? Pertama, jangan tunggu kemarau baru ribut, pencegahan harus jalan sepanjang tahun, bukan musiman. Kedua, keterlibatan semua pihak harus nyata, bukan sekadar daftar hadir di apel. Ketiga, inovasi lokal harus digali. Program “Satu Desa Satu Pompa” itu bagus, tapi pastikan pompa terawat, bukan sekadar pajangan. Keempat, perusahaan jangan cuma bikin laporan CSR, tapi benar-benar turun tangan dengan regu pemadam lengkap dan siap tempur.
Bupati Toha sudah mengingatkan Karhutbunlah berdampak global, betul sekali, karena asap Muba bisa terbang ke Jambi, bahkan bisa bikin Maskapai Internasional pusing. Jadi, kalau kita hanya setengah hati, dunia akan menilai Muba tak serius menjaga paru-paru bumi.
Mari kita ingat pepatah lama “Api kecil jadi kawan, kalau besar jadi lawan”, komitmen yang setengah matang sama saja dengan bara yang dibiarkan. Sekali ditiup angin, habis satu kampung. Maka, pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus berpegangan tangan, bukan sekadar berjabat tangan di depan kamera.
Karhutbunlah di Muba jangan lagi jadi rutinitas tahunan, kalau janji dan arahan hanya berhenti di panggung apel, maka kita sedang mengulang kesalahan yang sama. Bupati, DPRD, aparat, perusahaan, hingga masyarakat harus berani menyalakan komitmen seterang mungkin, lebih terang dari api itu sendiri, sebab kalau tidak, kita hanya jadi penonton tetap di sinetron asap yang tak kunjung tamat.
Jangan lupa, pepatah Jawa mengingatkan, “Satekah-tekah ora bakal dadi sega” – usaha setengah-setengah takkan jadi nasi. Begitu pula, komitmen setengah hati takkan pernah memadamkan api.[***]