COBA bayangkan, anda masuk ke sebuah desa wisata di Sleman, lalu di pinggir jalan bukan cuma ada plang “Selamat Datang” atau “Hati-hati Sapi Nyebrang”, tapi ada papan besar bertuliskan Koperasi Desa Merah Putih Tamanmartani, Semua Ada di Sini. Masuk ke dalamnya, suasananya bukan seperti koperasi zaman sekolah dulu yang isinya cuma spidol dan buku tulis, tapi kayak “One Stop Tourism Hub” ala desa. Mau booking homestay? Bisa. Mau beli oleh-oleh? Monggo. Mau cari paket outbound? Tinggal pilih. Bahkan kalau mau beli saprotan buat belajar bertani, tinggal gesek QRIS.
Nah, inilah yang bikin Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) Tamanmartani jadi beda kelas. Ia bukan sekadar pasar, tapi juga pusat informasi wisata, marketplace produk lokal, bahkan semacam “tourist center” berbasis komunitas. Kalau di kota besar, kita harus masuk mall buat semua kebutuhan, di desa cukup mampir ke koperasi. Bedanya, kalau mall bikin kantong tipis, koperasi bikin ekonomi desa makin gemuk.
Biasanya, ketika kita pergi ke desa wisata, kita sering bingung. Mau nginep di mana, makan apa, atau oleh-oleh apa yang beneran asli dari sana. Kadang malah ketipu, udah jauh-jauh ke desa, oleh-olehnya malah buatan pabrik luar daerah. Nah, koperasi hadir jadi kurator memastikan produk yang dijual bener-bener dari petani, pengrajin, dan UMKM desa.
Ibarat pepatah Jawa, “Jer basuki mawa bea”, semua keberhasilan itu butuh biaya. Tapi kalau di Tamanmartani, pepatahnya bisa dimodif jadi “Jer wisata mawa koperasi”, semua perjalanan wisata bisa tuntas lewat koperasi.
Lihat saja, koperasi ini sudah nyambung ke banyak sektor dari simpan pinjam, sembako, klinik, sampai pariwisata. Kalau diibaratkan, KDMP ini kayak warung kopi legendaris di kampung, yang isinya apa aja ada dari info kawinan tetangga, gosip politik, sampai rencana bikin jalan desa. Bedanya, di sini semua dikelola profesional, ada digitalisasi, ada kolaborasi, dan yang terpenting ada rasa gotong royong.
Lucunya, banyak orang kota kalau datang ke desa wisata itu kepengen merasakan “hidup sederhana”. Mereka rela bayar mahal buat tidur di homestay yang dindingnya bambu, padahal kalau di rumah sendiri disuruh tidur di dipan bambu pasti ngedumel. Mereka antusias belajar menanam padi, meskipun sepuluh menit kemudian sudah teriak “Aduh panas!”. Tapi justru di situlah poinnya wisata bukan hanya soal tempat, tapi soal pengalaman dan cerita. Dan koperasi punya peran penting untuk mengorkestrasi semua itu, biar wisatawan pulang bukan cuma bawa foto Instagram, tapi juga bawa kesan dan oleh-oleh yang menyejahterakan warga.
Ada pepatah Minang bilang “Alam takambang jadi guru”. Nah, kalau di Tamanmartani, alam yang terbentang bukan cuma guru, tapi juga distributor resmi produk desa. Semua diarahkan lewat koperasi. Jadi ketika wisatawan pulang bawa telur ayam kampung, sayuran segar, atau batik hasil karya warga, itu bukan sekadar belanja, tapi juga investasi kecil untuk keberlanjutan ekonomi desa.
Masalahnya, tidak semua daerah seberuntung atau sekreatif Tamanmartani. Banyak desa wisata lain yang punya potensi luar biasa, ada yang punya sawah indah, ada yang punya tradisi unik, ada yang punya kuliner maknyus tapi bingung cara ngemasnya. Akhirnya, yang dijual cuma “foto spot Instagramable” dengan kursi rotan dan payung warna-warni. Lama-lama wisatawan bosan, karena yang ditawarkan sama saja.
Inilah pelajaran yang bisa ditiru kuncinya bukan cuma potensi, tapi sistem pengelolaan, dan koperasi bisa jadi jawabannya. Bayangkan kalau desa-desa di Sumatera Selatan, Kalimantan, atau Sulawesi bikin model serupa. Koperasi jadi hub wisata, semua pelaku usaha disatukan, wisatawan tidak perlu ribet mencari info.
Masalah klasik di banyak daerah itu justru “kurang kreatif, kebanyakan rapat”. Semua tahu punya potensi, tapi sibuk bikin proposal, seminar, atau studi banding. Padahal, Tamanmartani sudah membuktikan, tanpa ribet jargon, koperasi bisa langsung jalan menghubungkan petani, pengrajin, pemilik homestay, hingga bank untuk modal wisata.
Kita sering terjebak pada pola pikir wisata sama dengan jualan tempat. Padahal wisata sejati adalah tentang cerita dan keterlibatan warga. Koperasi menjadi simbol bahwa wisata desa bukan soal siapa yang punya lahan luas atau hotel mewah, tapi soal bagaimana semua orang dapat peran.
Ibarat pepatah “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Wisata desa akan langgeng kalau dikerjakan bareng-bareng. KDMP membuktikan pepatah ini tidak hanya jadi slogan, tapi jadi praktik nyata.
Koperasi Desa Merah Putih Tamanmartani berhasil melampaui ekspektasi, dari lembaga ekonomi klasik, ia berubah jadi One Stop Tourism Hub ala desa. Bukan hanya tempat transaksi, tapi juga pusat informasi, kurator produk lokal, bahkan ATM wisata untuk modal homestay dan paket edukasi.
Daerah lain seharusnya bisa belajar, jangan cuma jual janji manis di brosur, tapi bikin sistem yang nyata menguntungkan warga karena pada akhirnya, wisata yang berhasil bukan diukur dari jumlah foto selfie, tapi dari berapa banyak masyarakat lokal yang ikut tersenyum.
Atau kalau mau pakai gaya dagelan wisata itu bukan cuma soal menambah followers Instagram, tapi juga menambah saldo warung kelontong warga.
Jadi, kalau ada pejabat daerah bingung mau mulai dari mana, jawabannya gampang mulailah dari koperasi, karena koperasi bukan sekadar warung desa, tapi bisa jadi “tourist center” paling merakyat.[***]