Pendidikan

EDUKASI KELAUTAN: Dari Jangkrik ke Jaringan – Sekolah Hybrid ala Nelayan & Kampus Mini di Pinggir Pantai

BICARA pendidikan nelayan, banyak orang langsung membayangkan bapak-bapak pakai caping duduk di tepi perahu sambil belajar menghitung ikan pakai sempoa. Padahal zaman sekarang, nelayan juga butuh upgrade ilmu, minimal tahu cara pakai aplikasi e-learning, walau sinyal di kampung kadang lebih malu-malu daripada gebetan di masa SMA. Nah, di sinilah konsep hybrid learning nelayan dan community learning center pesisir masuk sebagai terobosan keren ala Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Jujur, ide ini kedengarannya seperti memaksa ikan belajar berenang, nelayan sejak lahir memang sudah akrab dengan laut, ombak, bahkan pasang surut rezeki. Tapi, dunia berubah lebih cepat dari arus Selat Malaka. Kalau dulu jual ikan cukup teriak di pasar, sekarang bisa pakai marketplace. Kalau dulu belajar melaut dari bintang di langit, sekarang bisa belajar dari layar bukan layar perahu, tapi layar ponsel.

Coba bayangkan, nelayan yang biasanya memegang dayung kini memegang mouse. Atau ibu-ibu pengolah ikan yang biasanya ngulek cabe, sekarang belajar digital marketing lewat laptop. Itu namanya hybrid learning nelayan, campuran antara belajar online dan tatap muka. Jadi, ketika sinyal di pesisir kalah sama suara jangkrik, nelayan bisa tetap ikut kelas lewat tatap muka di community learning center.

Model hybrid ini seperti pepatah lama “Jalan ke laut bisa lewat dermaga, bisa juga lewat perahu cadik. Yang penting sampai ke ikan” Artinya, mau lewat online atau offline, tujuan akhirnya sama nelayan paham teknologi, bisa kelola hasil tangkapan, bahkan tahu cara menjual produk dengan harga lebih manusiawi.

Sekarang bayangkan ada sebuah kampus, tapi bukan di tengah kota, melainkan di tepi pantai. Gedungnya sederhana, mungkin atapnya masih seng, tapi semangatnya lebih kuat dari karang. Itulah community learning center pesisir alias kampus mini di pinggir pantai.

Di sini, anak muda pesisir bisa belajar bikin konten TikTok tentang ikan asap, ibu-ibu bisa belajar packaging olahan ikan biar tampil estetik, dan bapak-bapak nelayan bisa diskusi soal cara budidaya rumput laut. Pokoknya, CLC ini jadi warung kopi plus-plus ada wifi, ada obrolan, ada pelatihan, ada canda tawa.

Kalau di kota mahasiswa nongkrong di kantin sambil nyontek catatan, di CLC pesisir mahasiswa versi nelayan bisa belajar sambil ngopi, nyicip pempek, atau bahkan sambil memperbaiki jaring. Intinya, belajar tidak lagi identik dengan bangku kayu dan papan tulis, belajar bisa santai, asal ilmunya nyantol.

Memang, ada yang bilang pendidikan nelayan berbasis hybrid itu seperti pasang lampu neon di tengah laut. Bagus idenya, tapi bisa mati kalau tak ada aliran listrik. Tapi justru karena tantangannya besar, maka keberadaannya makin penting. Sinyal boleh lemah, tapi semangat belajar masyarakat pesisir tidak pernah padam.

Apalagi dengan dukungan NGO yang ikut nimbrung, program ini tidak hanya soal teori. Ada yang mengajarkan konservasi laut, ada yang membimbing pengolahan hasil perikanan, ada juga yang memberi pelatihan soal adaptasi perubahan iklim. Jadi, jangan kaget kalau ke depan ada nelayan yang bukan cuma bisa menangkap ikan, tapi juga jadi pembicara webinar internasional.

Ada pepatah bilang, “Kalau mau menangkap ikan besar, jangan hanya pakai kail kecil” Pendidikan nelayan juga begitu. Kalau kita mau hasil besar nelayan sejahtera, laut terjaga, ekonomi biru jalan, maka jangan hanya pakai cara lama. Perlu kail baru, yaitu pendidikan modern yang tetap menghargai kearifan lokal.

Pendidikan itu ibarat jaring, kalau jaring bolong, ikan lewat begitu saja. Kalau pendidikan nelayan tidak diperkuat, peluang kesejahteraan juga akan bocor. Tapi kalau jaring rapat, setiap peluang bisa ditangkap dengan baik.

Pertama, jangan pernah remehkan community learning center pesisir, ia mungkin sederhana, tapi justru jadi jantung dari pendidikan pesisir. Kedua, hybrid learning nelayan perlu disesuaikan dengan kondisi lokal.

Kalau sinyal susah, kombinasikan dengan modul cetak atau pertemuan rutin. Ketiga, libatkan generasi muda pesisir. Mereka lebih cepat adaptasi teknologi, sekaligus bisa jadi motor penggerak ekonomi biru.

Dan terakhir, perlu ada semangat kebersamaan, sebab pendidikan tidak bisa jalan sendirian. KKP, NGO, nelayan, pemuda, ibu-ibu pengolah ikan, semua harus ikut mendayung, karena perahu tanpa dayung itu cuma jadi pajangan di pantai.

Pendidikan nelayan melalui hybrid learning dan community learning center pesisir adalah bukti bahwa sekolah tidak selalu butuh gedung tinggi atau dosen pakai toga. Sekolah bisa hadir di pinggir laut, dengan dosennya para praktisi, dan muridnya para penjaga samudra.

Jadi, jangan kaget kalau nanti kita melihat nelayan yang bisa bercanda soal “zoom error” sambil menjemur ikan asin, atau ibu-ibu pengolah ikan yang jago bikin presentasi PowerPoint sambil ngulek sambal.

Karena pada akhirnya, pendidikan itu bukan soal di mana kita belajar, tapi bagaimana kita bisa memaknai ilmu. Dan bagi masyarakat pesisir, ilmu itu ibarat perahu, semakin kuat kayunya, semakin jauh pula mereka bisa berlayar menuju kesejahteraan.[***]

Terpopuler

To Top