Features

BUKU DIARI : “Sepotong Tenang dari Kalidoni yang Rintik”

ist

RABU pagi ini, langit Kalidoni tampak murung seperti wajah anak kos yang baru sadar uang kiriman belum turun. Mendung menggantung rendah, lalu meneteskan hujan rintik-rintik yang bikin badan ingin terus meringkuk. Usai subuh, bukannya bersemangat, saya justru memilih duduk diam di pojok rumah, sambil mendengarkan musik lagu lama yang tak lekang oleh waktu. Rumah saya berdiri di Perumahan Pesona Harapan Jaya RT 50, Kalidoni Palembang,  wilayah yang kadang oleh orang kota disebut “marjinal”. Tapi bagi saya, inilah kampung tenang, kampung damai, kampung yang sesungguhnya.

Perumahan Pesona Harapan Jaya tahap I letaknya paling ujung, jauh dari kebisingan kota, kiri kanan, depan belakang, masih dipeluk hutan tua. Pohon karet, akasia, sampai sawit berdiri gagah seperti para veteran yang sudah puluhan tahun berjaga. Angin datang membawa bisikan dari daun-daun yang selalu bergoyang, kadang lembut, kadang keras, seperti nasihat emak yang mood-nya naik turun. Kalau saya sebut tempat ini “kampung”, rasanya lebih pas. Karena selain rumah-rumah sederhana, ayam masih bebas main di jalan, kucing bergelimpangan di teras tetangga, dan suara burung pagi selalu jadi alarm alami.

Kota mungkin menyebutnya perumahan marjinal, tapi bagi saya justru di sinilah letak kemewahan sejati, coba bandingkan orang kota berdesak-desakan, suara klakson tiap menit, AC menyala 24 jam sampai listrik jantungan. Sementara kami, tiap hari dapat AC gratis dari angin hutan, musik gratis dari kicau burung, dan hiburan gratis melihat ayam berkelahi rebutan cacing. Bukankah hidup sederhana ini justru lebih sehat bagi jiwa?

Di kampung ini, ayam jadi profesor kehidupan, mereka berlarian ke sana ke mari, lalu tiba-tiba berhenti, mengais tanah, dan berebut apa saja yang muncul dari bawah. Dari ayam saya belajar, bahwa hidup itu jangan terlalu banyak rencana.

Kadang rezeki justru nongol dari tanah yang kita cakar tanpa diduga. Pepatah lama bilang “Rezeki sudah ada yang ngatur, tapi tangan tetap harus bekerja”. Begitu juga ayam tak menunggu, tapi terus mengais.

Sementara kucing? Mereka adalah seniman sejati, tidur di mana saja, berguling di jalan, kadang pura-pura lapar padahal baru saja makan di rumah tetangga. Dari kucing saya belajar filosofi santai “Kalau hidup terlalu serius, nanti cepat tua”. Kucing tahu betul cara menikmati waktu. Kadang saya iri, mereka bisa jadi ‘penguasa kampung’ tanpa harus ikut pemilu.

Rabu ini hujan rintik seperti payung alam yang membasuh segala resah, banyak orang mengeluh kalau hujan bikin malas. Tapi bukankah malas itu juga bagian dari kehidupan? Bayangkan kalau manusia bekerja terus tanpa jeda, bukankah nanti kita lebih mirip robot ketimbang manusia? Hujan, dengan rintik pelan, seakan berkata “Tenanglah, diamlah sebentar, dengarkan musik, resapi hidup”

Pepatah Jawa pernah bilang “Alon-alon asal kelakon”. Artinya, tak perlu tergesa, karena yang penting sampai juga. Hujan rintik pagi ini seperti reminder, bahwa hidup itu tak melulu soal berlari mengejar target. Ada kalanya kita duduk, diam, dan mengizinkan alam yang berbicara.

Tinggal di ujung perumahan, diapit hutan tua, membuat saya sering merenung sebetulnya manusia itu sering terlalu ribut dengan ambisinya. Kita sibuk berlomba-lomba membangun gedung tinggi, jalan tol panjang, dan mal megah. Tapi ujung-ujungnya, saat lelah, kita mencari yang paling sederhana, secangkir kopi, suara hujan, dan ketenangan, bukankah ironis?

Kalidoni mungkin bukan pusat kota, Pesona Harapan Jaya RT 50 mungkin dianggap perumahan marjinal. Tapi justru di sinilah saya menemukan apa yang tak dimiliki orang kota, keseimbangan alam yang masih hidup, udara yang masih murni, serta tetangga yang masih suka menyapa tanpa perlu janji temu via WhatsApp.

Pagi yang mendung dan hujan rintik di Kalidoni ini memberi pelajaran bahwa ketenangan bukan dicari di pusat keramaian, melainkan di hati yang mampu menerima kesederhanaan. Ayam, kucing, hutan, bahkan rintik hujan menjadi guru yang sabar, mengajarkan kita tentang sabar, syukur, dan santai.

Jadi, kalau ada orang berkata “perumahan marjinal”, saya jawab dengan senyum “Silakan bilang begitu, tapi di sini kami hidup damai, sehat, dan merdeka”, karena sejatinya, kampung yang dikelilingi pohon tua dan suara hujan lebih mahal nilainya daripada gemerlap neon kota.

Mungkin benar kata orang bijak “Orang sibuk mencari surga, padahal kadang surga sudah ada di kampung sendiri”, dan pagi ini, di Kalidoni yang rintik, saya merasa telah menemukannya.[***]

Terpopuler

To Top