HUT ke-80 Republik Indonesia mestinya riuh, kembang api meledak, rakyat joget, dan anak-anak tertawa sampai tetangga kepingin ikut joget juga, namun di sawah dan kantor pabrik pupuk nasional, suasana sedikit… gimana ya… mirip film komedi horor, ngakak tapi deg-degan. Kabarnya, pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bakal dibatasi. Belum terjadi apa-apa, tapi petani udah mulai kebayang sawah kelaparan, seperti anak yang liat es krim di etalase tapi freezer belum buka.
Kenapa ? karena gas HGBT itu bukan sekadar bahan baku, tapi vitamin utama bagi tanaman, padi tanpa gas HGBT itu ibarat manusia tanpa kopi di pagi hari, lemes bro, bete, dan siap ngomel-ngomel.
Sementara tanaman lain seperti jagung, kalau nggak dapat pupuk, bisa bilang begini, “Pak, aku nggak bakal tinggi nih… kalah sama tetangga” Sayur-sayuran?. Bisa ogah hijau, lebih memilih jadi salad plastik di supermarket, bahkan ironisnya jika kekurangan vitamin pohon singkong pun bisa menunduk sedih, sambil berbisik, “Waduh… masa panen tahun ini harus diet?”.
Febri Hendri Antoni Arief dari Kementerian Perindustrian dalam rilisnya bilang, pembatasan HGBT ini “kado buruk”. Ya, kado buruk itu kayak sepatu baru tapi ukurannya kebesaran, bikin jalan oleng, tapi susah dibuang.
Dampaknya bisa bikin petani bilang, “Waduh… duit segini cuma cukup buat beli kopi susu, masa harus beli pupuk mahal?” Akhirnya, padi, jagung, dan sayur ikut protes “Pak, jangan lupa vitamin kita, dong!”
Efek domino ini bisa bikin kantong rakyat bolong, harga pangan naik, petani stres, rakyat panik, dan bendera merah putih cuma berkibar sambil bilang, “Tolong jangan lupa subsidi, Pak!” Target swasembada beras, jagung, dan hortikultura bisa melorot ke impor.
Nah, kalau sudah begitu, bayangkan, Indonesia bisa bilang ke negara lain, “Tolong kirim beras, ya… bonus sambel juga boleh!” Ironisnya lagi, di ladang sendiri padi sudah siap panen, tapi vitamin alias pupuk tidak tersedia.
Coba seandainya, satu hari di sawah, misalnya sebut saja petaninya pak Paiman, seorang petani legendaris di Desa Tumbuhsubur, sedang mengaduk tanah. Jagungnya menatapnya dengan tatapan memelas. “Waduhhh, Pak!, kapan kita makan vitamin?”, Pak Paiman kebingungan dengan menjawab pertanyaan itu, ia garuk-garuk kepala sambil bilang, “Ia, gas HGBT katanya dibatasi. Kalau pupuk mahal, panen bisa nyungsep”. Bahkan ayamnya ikut merunduk, sambil mengguman, “Pak, jangan sampai jagungnya kurus, nanti kita semua ikut kurus!”
Tidak hanya petani yang panik, bahkan yang lebih parah takutnya Industri Pupuk Nasional yang menggantungkan dari gas sebagai salah satu bahan baku pupuk, juga mulai melakukan perhitungan ala matematika ninja, bahkan bolak -balik rumus. “Kalau pasokan HGBT dikurangi, produksi turun 20 persen, harga pupuk naik 50 persen, dan petani stres 200 persen… aduh…, gimana ini, Pak?” Meski mesin-mesin pabrik belum mogok, tapi hati manajer sudah berdegup kencang, seperti drum band marching di depan kantor.
Masalahnya, pupuk bukan cuma soal angka. Ia adalah urat nadi ketahanan pangan, coba bayangkan, padi adalah tentara, pupuk adalah peluru, dan petani adalah jenderal. Tanpa peluru, tentara bisa kalah perang, dengan kata lain, tanpa pasokan HGBT stabil, ketahanan pangan nasional bisa terganggu.
Jagung bisa protes, “Pak, masa panen tahun ini cuma segini?” Sayur pun bisa menolak hijau “Kita mogok, Pak, kalau vitamin nggak cukup”.
Impor
Harga gas HGBT naik ke USD 15–17 per MMBTU, pupuk ikut melambung, petani menjerit, “Walah… duit segini cuma cukup buat beli kopi susu, masa harus beli pupuk mahal?”. Akhirnya, harga pangan ikut naik, dampaknya, pasti dompet rakyat menjerit, hati petani sedih, dan kucing kampung yang biasanya suka manja ikut melompat sambil mengeluh “Pak, jangan sampai ikan nila ikutan stres!”
Lebih jauh, target swasembada pangan bisa melorot, kalau pupuk langka atau mahal, Indonesia bisa kembali tergantung impor beras, jagung, dan sayur. Kita bisa bilang ke negara lain, “Tolong kirim beras, ya… tapi jangan lupa sambal dan kerupuknya juga!”. Ironis, bukan?, ladang sendiri sudah siap panen, tapi vitaminnya alias pupuk tidak tersedia.
Solusi?, kalau bisa pemerintah harus berjuang, seperti para pejuang kita terdahulu, bisa menjaga HGBT di level USD 6,5 per MMBTU dengan pasokan stabil, asanya ya..pabrik pupuk bisa aman, sehingga petani bisa kembali tersenyum lebar, dan ketahanan pangan tetap kokoh.
Pajak bisa difokuskan di produk hilir, bukan gas di hulu, pepatah lama cocok diselipkan “Jangan sampai anak ayam kelaparan karena induknya kehabisan jagung”. Menjaga pasokan pupuk artinya menjaga seluruh rantai pangan, dari pabrik sampai piring rakyat.
Misalnya ada humor seperti dibawah ini, antara tanaman dan petani:
Padi : “Pak, gue mau tinggi, tapi kok pupuknya nggak ada?”
Pak Slamet : “Tenang, Nak… semoga pemerintah dengar doa kita.”
Jagung : “Kalau gue kurus, ayam-ayam ikut ngambek!”
Sayur : “Pak, jangan lupa vitamin kita, nanti supermarket nggak senyum.”
Dialog ini mungkin konyol, tapi bisa jadi renungan karena ketahanan pangan itu nyata, bukan cuma slogan di upacara HUT RI. Industri Pupuk Nasional adalah jantungnya, dan pasokan HGBT adalah obat vitamin yang membuat jantung itu tetap berdetak.
Oleh karena itu, HUT ke-80 RI bukan sekadar lomba makan kerupuk, joget balon, atau kembang api. Ini soal industri pupuk nasional, kesejahteraan petani, dan ketahanan pangan.
Kalau pemerintah mampu menjaga pasokan gas HGBT, bukan cuma pabrik yang tersenyum, petani bisa ngakak puas, rakyat tetap kenyang, dan bendera merah putih berkibar dengan bangga, bukan hanya di langit, tapi di ladang-ladang subur seluruh nusantara.
Ingat ! kawan ..“Tanaman butuh vitamin, petani butuh pupuk, dan semua butuh sedikit humor biar nggak pusing lihat harga naik”. Humor di sini bukan sekadar canda, tapi juga cara kita memahami pentingnya industri Pupuk Nasional dan Ketahanan pangan dengan santai tapi tajam.
Jadi, sambil menikmati kembang api HUT RI, kita doakan agar gas HGBT tetap stabil, pabrik pupuk jalan lancar, petani tersenyum, dan pangan nasional tetap terjaga. Karena tanpa itu, merah putih mungkin berkibar, tapi perut rakyat tetap keroncongan, dan itu bukan kemerdekaan yang kita impikan.[***]