Seni & Budaya

“Black Coffee – Kopi, Cinta & Filosofi Hidup dari Tanah Gayo”

ekraf

PERNAH nggak ngerasain hidup itu kayak kopi hitam pekat, pahit, tapi bikin nagih?. Nah, Black Coffee, film garapan Heart Pictures, itu persis kayak kopi Gayo yang baru diseduh aroma budaya nendang, rasa kehidupan meresap, dan bikin mata melek sekaligus hati hangat.

Di desa kecil Aceh Tengah, hiduplah sepasang suami istri tunanetra paruh baya, mereka menanam kopi, menanam cinta, dan… menanam mimpi sambil sesekali tergelak melihat daun-daun jatuh diterpa angin. Mereka bukan cuma petani biasa, bro.. mereka adalah penjaga budaya Gayo, pahlawan kehidupan yang mengajarkan bahwa “benih kecil yang dirawat dengan sabar akan tumbuh menjadi pohon besar yang rindang”.

Film ini lagi dalam proses pasca-produksi, tapi aura lucu, hangat, dan penuh drama sudah terasa. Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, bilang “Film hiperlokal seperti Black Coffee bisa dinikmati nasional bahkan festival internasional.

Market-nya sudah ada, tinggal dorong promosi ke mitra strategis Kemenekraf.” Tapi bro, bukan cuma itu yang bikin unik. Film ini mengangkat kisah tunanetra yang tetap berkarya, sesuatu yang jarang disentuh media mainstream.

Kalau kopi Gayo itu pahit-manis, hidup para tokoh utama juga begitu, mereka menunggu seorang anak sambil merawat kebun kopi. Kadang tersenyum, kadang kena hujan, kadang biji kopi beterbangan kayak rezeki yang datang nggak diduga. Pepatah hidup cocok nih “Hidup itu seperti kopi pahitnya bikin sadar, manisnya bikin bersyukur”

Produksi film ini melibatkan 41 lokasi syuting, memberdayakan masyarakat lokal sebagai kru dan pemeran pendukung. Jadi satu film bisa jadi mesin ekonomi kreatif sekaligus promosi wisata Aceh. Produser Herty Purba bilang, “Kolaborasi dengan pengusaha lokal bikin film ini nggak cuma tayang di layar, tapi juga nge-boost ekonomi desa.” Bayangin bro, film bisa bikin kopi Gayo terkenal sampai ke luar negeri, tanpa harus dikemas jadi kopi sachet.

Yang lebih gokil lagi, tim kreatif melakukan riset selama 13 tahun. Jeremias Nyangoen, director sekaligus scriptwriter, bilang “Gayo itu holistik. Budaya, kuliner, adat istiadat semuanya nyambung. Tugas kami bikin film sederhana tapi kuat, yang bikin penonton ketawa tapi juga merenung.” Kalau hidup itu benang, film ini adalah tenunan rapi antara komedi, drama, dan budaya, semua dijahit dengan cinta.

Perempuan tunanetra sebagai tokoh utama juga memberi pesan moral Sha Ine Febriyanti bilang, “Budaya Gayo bikin masyarakat ekspresif.

Film ini sederhana tapi sarat nilai kehidupan” Filosofi hidupnya “Perempuan yang kuat itu seperti kopi hitam pekat walau pahit, tetap memberi semangat dan rasa pada lingkungan sekitar”.

Dan jangan lupa, bro, kopi Gayo di film ini bukan cuma properti. Ia adalah karakter hidup, simbol perjuangan, kesabaran, dan cinta. Setiap seduhan kopi, setiap panen, adalah pelajaran bahwa hidup itu harus diracik dengan sabar, dicicipi dengan hati, dan dinikmati bersama orang yang tepat.

Kalau hidupmu terasa hambar, ingatlah Black Coffee. Film ini bukan sekadar hiburan, ia adalah cangkir filosofi hidup dari tanah Gayo pahit tapi manis, sederhana tapi sarat makna.

Dari Aceh ke layar nasional, bahkan festival internasional, film ini membuktikan kisah lokal bisa universal asalkan dikemas dengan kreativitas, humor, dan hati. Jadi bro, jangan cuma nonton rasakan aroma, nikmati ceritanya, dan biarkan kopi Gayo mengajarkanmu arti perjuangan, cinta, dan budaya yang sesungguhnya.[***]

Terpopuler

To Top