Industri Kreatif & UKM

“Rempah, Cita Rasa & Cita-Cita, Saat Pelajar SMA Masak Bukan Lagi Karena Lapar”

ekraf

Kompetisi Koki Muda Koepoe Koepoe Jadi Ajang Ngulek Rasa, Ngasah Bakat, dan Ngarungi Masa Depan Kuliner Indonesia

COBA jika seorang anak SMA lagi ngulek sambal, bukan karena disuruh emak, tapi karena sedang mengejar gelar chef muda nasional. Inilah kenyataan baru di negeri +62, di mana kompetisi memasak “Koki Muda Koepoe Koepoe” resmi bikin dapur sekolah berasa seperti dapur MasterChef, lengkap dengan wajan panas, aroma rempah semerbak, dan tentu saja—ambisi yang tak kalah pedas dari sambal bawang nenekmu!

Di balik kegiatan masak-memasak ini, bukan cuma sayur yang direbus dan bumbu yang ditumis. Ada masa depan yang sedang dididihkan pelan-pelan, disesap harapannya, dan ditumis dengan kreativitas. Seperti kata pepatah, “Siapa yang mengaduk rasa, dia yang mengaduk asa”. Dan anak-anak SMA jurusan Tata Boga dari 45 sekolah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta ini sedang serius-seriusnya mengaduk masa depan mereka di atas kompor kompetisi ini.

Kompetisi ini bukan ajang asal goreng lalu plating. Ini kompetisi yang mewajibkan peserta memakai rempah-rempah khas Indonesia dari brand legendaris Koepoe Koepoe merek yang konon sudah ada sejak nenek moyang kita masih pakai bedak dingin. Kalau dulu rempah jadi rebutan penjajah, sekarang rempah jadi rebutan juara.

Wakil Menteri Ekraf, Irene Umar, dengan gaya bak juru bicara rasa, bilang kalau subsektor kuliner adalah satu dari tiga subsektor unggulan ekonomi kreatif. Singkatnya, kalau kamu bisa bikin rendang yang bikin orang bule nangis haru, kamu juga bisa bantu negara ini naik kelas PDB-nya.

Lebih lanjut, ada pula istilah keren kolaborasi hexahelix. Artinya? Dunia usaha, pendidikan, pemerintah, komunitas, akademisi, dan media, semua diajak nimbrung masak bareng. Jadi jangan bayangin masak sendirian. Ini gotong royong rasa, bro.

Koki Muda Koepoe Koepoe ini bukan lomba masak biasa. Ini seperti audisi masa depan. Anak-anak belajar bukan cuma bikin sayur asem yang nggak terlalu asem, tapi juga belajar filosofi dapur. Bahwa dalam hidup, rasa itu penting. Terlalu asin, bisa bikin orang ngambek. Terlalu hambar, bisa bikin orang pindah ke dapur sebelah.

Presiden ACP Indonesia, Chef Rafael Basanto, menyebut kompetisi ini bisa jadi tonggak sejarah. Sejarah di mana anak-anak muda belajar bahwa ladang masa depan bukan cuma sawah dan kantor, tapi juga dapur. Di sinilah tempat lahirnya identitas, karakter, dan… rendang vegan yang rasanya tetap bikin kangen rumah.

Chef Ronald Tekilov, juri yang konon bisa mencium apakah sambal itu dimasak pakai cinta atau cuma pakai minyak, mengajak peserta untuk berani otentik. Karena kata beliau, “Chef sejati itu yang nggak cuma bisa masak, tapi juga bisa menjelaskan kenapa dia masak begitu.” Bukan cuma urusan perut, tapi juga urusan pikiran.

Dari dapur ke dunia, dari ulekan ke panggung global, kompetisi ini bukan cuma ajang cari pemenang, tapi ajang nyetak pejuang rasa. Karena sejatinya, anak muda itu ibarat bumbu kalau diolah dengan baik, dia bisa mengubah sepiring nasi putih jadi karya kuliner tingkat dunia.

Jadi, wahai generasi muda, kalau kamu suka masak, teruskan. Jangan malu. Dunia ini sudah penuh orang yang pintar bicara, tapi belum cukup yang bisa ngulek sambal dengan hati. Ingat, hidup itu seperti tumisan, kalau terlalu takut panas, ya nggak bakal mateng.[***]

Terpopuler

To Top