Tekno

“Gim Lokal Bisa Dipesan di Hotel? Ketika PlayStation Jadi Room Service dan Gamer Tak Lagi Cuma Ngopi di Warnet”

ekraf

PADA  zaman dulu, ketika anak-anak kecil bermain petak umpet sambil bawa sabit, dan warnet adalah tempat paling sakral setelah mushola, siapa sangka bahwa suatu hari nanti game lokal bisa nongkrong manis di hotel-hotel bintang empat? Tapi inilah kenyataan pahit manis yang dibumbui kreativitas industri gim lokal Indonesia bukan lagi sekadar urusan bocah-bocah teriak “lag, bang!”, tapi sudah jadi bagian dari arsitektur ekonomi kreatif.

Dalam W3GG GAM3 ARENA yang digelar di Jakarta, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar meluncurkan jurus pamungkas memadukan komunitas, teknologi, dan kreativitas dalam satu arena penuh energi dan emoticon.

Lho, apa istimewanya? Bayangkan kamu nginep di hotel, lagi bengong habis rapat atau ditolak gebetan, lalu kamu telepon resepsionis dan berkata, “Mas, tolong antar satu PS5 dan dua game lokal, jangan lupa stick-nya masih mulus ya.” Inilah inovasi imajinatif yang bikin hotel tidak hanya menyediakan sabun sachet dan sandal tipis, tapi juga hiburan kelas dunia hasil tangan anak bangsa.

Ibarat sambal geprek, pedasnya bisa mendunia asal dikemas dengan baik. Dan kini, dengan layanan game-on-demand di Artotel dan Ashley Hotel, game Indonesia punya tempat khusus di ranjang dan ruang tamu hotel-hotel keren.

Wamen Ekraf Irene tak sekadar bicara indah di podium, beliau membawa contoh konkret Games Corner di bandara. Bukan buat ngecas HP, tapi buat kenalin karya anak bangsa. Jadi kalau kamu nunggu boarding dan kebelet main, jangan lagi buka game luar yang isinya cuma zombie dan senapan.

Cobalah game lokal bisa jadi kamu malah nemu karakter yang mirip tetanggamu sendiri pak RT digital lengkap dengan sandal jepit sakti. Konsep ini bukan cuma keren, tapi juga memantik peluang bisnis, memperluas eksposur, dan jadi tamparan halus buat yang masih nganggep game itu kerjaan pengangguran.

Yang lebih seru, dalam kompetisi Indie Game Pitch Battle, delapan studio lokal bertarung bukan pakai tinju, tapi pakai kreativitas. Pemenangnya diganjar USD 5.000 bukan receh, tapi cukup buat beli mie instan satu truk atau modal bikin game baru.

Kata Wamen Irene, “Jangan biarkan hasil hari ini menentukan masa depanmu.” Kalimat ini mirip pepatah: kalah hari ini bukan berarti besok kamu nggak bisa jadi legenda. Semangatnya mirip pemain Mobile Legends yang ngelag di awal, tapi comeback di akhir pakai hero andalan.

W3GG GAM3 ARENA bukan sekadar ajang pamer, tapi titik temu yang imersif tempat di mana gamer lokal bisa unjuk gigi (meski giginya palsu), berjejaring, dan menunjukkan bahwa dunia game Indonesia itu bukan ecek-ecek. Dengan format hybrid, gamer dari Sabang sampai Merauke bisa main bareng gamer dari Tokyo atau Ohio. Dunia tanpa batas, katanya, dan para gamer adalah diplomat baru yang membawa joystick dan niat baik.

Kalau dulu orang tua bilang, “Jangan main game mulu, nanti bodoh,” sekarang mereka harus ganti narasi “Mainlah game lokal, siapa tahu kamu bisa ekspor kreativitas dan buka lapangan kerja.”

Kesimpulannya, industri game Indonesia sedang naik level. Dari warnet ke bandara, dari kamar kos ke kamar hotel bintang empat. Ini bukan cuma perubahan, tapi evolusi. Ketika gim lokal jadi bagian dari hospitality dan ekosistem kreatif, maka masa depan tak lagi tentang siapa yang punya senjata paling canggih, tapi siapa yang punya imajinasi paling liar dan joystick paling sabar.

Jadi, jangan heran kalau suatu hari kamu pesan room service, yang datang bukan cuma nasi goreng, tapi juga satu unit PlayStation berisi game buatan Bandung. Indonesia, kamu memang kreatif… kadang aja suka lupa nge-save.[***]

Terpopuler

To Top