Kebijakan

“Ketika Hutan Mulai Batuk, Sumsel Bersinergi, Dari Helikopter Water Bombing sampai Pepatah Lahan Jangan Dibakar, Disiram Saja!”

ist

SEBUAH desa kecil di pinggiran Kabupaten Ogan Ilir, hiduplah seorang petani nanas bernama Jaiman (37). Pagi itu, ia sedang duduk di bawah pohon jambu yang tumbuh di tepi ladangnya.

Kopi hitam pekat mengepul di cangkir kalengnya, sementara matanya memandang ke arah hutan yang mulai menguning. “Kalau Agustus datang, biasanya hutan itu mulai batuk,” katanya lirih. “Lama-lama bisa bersin semua Sumsel.”

Kalimat itu bukan kiasan semata, Di Sumatera Selatan, musim kemarau seringkali jadi musim penuh kecemasan. Bukan cuma karena air sumur mulai seret atau jemuran cepat kering, tapi karena ancaman kebakaran hutan dan lahan Karhutla yang bisa datang kapan saja.

Apalagi kalau ada yang iseng membakar semak, berharap lahan cepat bersih untuk tanam jagung. Kalau dibiarkan, bisa-bisa hutan jadi sate bakar raksasa, dan warga se-Sumsel mendadak diet oksigen.

Namun tahun ini, sebelum api sempat unjuk gigi, para pemimpin di Sumsel sudah lebih dulu bersiap diri. Hari Selasa, 29 Juli 2025, di Griya Agung yang biasanya dipakai untuk jamuan resmi dan resepsi pejabat, berubah menjadi markas koordinasi darurat. Bukan darurat api, tapi darurat antisipasi. Mirip seperti emak-emak sebelum lebaran stok beras, stok sabun, bahkan stok omelan siap duluan.

Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Cik Ujang, memimpin Rapat Koordinasi Pengendalian Karhutla 2025. Hadir pula para tokoh penting lintas sektor Kepala BNPB Letjen TNI Dr. Suharyanto, Menteri Lingkungan Hidup Dr. Hanif Faisol, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, serta barisan birokrat lokal seperti Sekda Sumsel Edward Candra, Kalaksa BPBD Iqbal Alisyahbana, Kadis Kehutanan Koimuddin, dan Kadis LH Herdi Apriansyah.

“Karhutla ini bukan hanya ancaman ekologis, tapi ancaman sosial, ekonomi, bahkan politik, karena kalau udara sudah dibungkus asap, semua program jadi ngadat. Kita harus bergerak lebih cepat dari apinya,” ujar Cik Ujang dalam sambutannya.

Dengan gaya khasnya yang kalem tapi tegas, ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh lembaga dan kementerian yang terlibat. Tapi Cik Ujang tak hanya berhenti pada pujian. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor.

“Jangan ada yang jalan sendiri-sendiri. Ini bukan lomba lari estafet, ini gotong royong. BPBD saya minta pastikan peralatan lengkap. Jangan nanti sirene berbunyi, selangnya malah bocor. Edukasi juga penting, kalau perlu, bikin drama pendek soal bahaya Karhutla, tayangin di TikTok!. Judulnya ‘Cinta Membara di Lahan Gambut’. Siapa tahu viral, kan?”

Tawa kecil terdengar di ruang rapat, tapi tak mengurangi keseriusan suasana, karena semua tahu, Karhutla bukan perkara ringan. Apalagi jika merujuk pada siklus empat tahunan yang disampaikan  Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto.

“Kebakaran hutan itu biasanya meningkat setiap empat tahun, tapi bukan berarti tahun-tahun di antaranya boleh lengah. Sumsel sejauh ini cukup stabil, hotspot memang naik turun, tapi trennya menurun. Kita pertahankan itu,” jelas Suharyanto.

BNPB sendiri menegaskan komitmen total, tak tanggung-tanggung, mereka siapkan Satgas Darat yang siap menyusur ke titik api, pembentukan Satgas TNI (Kodim) bila eskalasi meningkat, bantuan alat pemadaman canggih, Operasi Modifikasi Cuaca ,OMC) lengkap dengan pesawat untuk hujan buatan dan Patroli Udara dengan 2 helikopter patroli dan 3 helikopter water bombing.

“Ini bukan pamer alat, ini kesiapan. karena kalau api sudah membesar, kita nggak bisa cuma mengandalkan hujan yang tak kunjung datang. Masa iya, mau nunggu langit kasihan sama kita dulu?” ujar Suharyanto sambil menunjuk peta wilayah rawan Karhutla.

Menteri Lingkungan Hidup RI, Hanif Faisol, menambahkan narasi kebijakan yang lebih luas. Dalam kunjungan lapangan bersama tim, ia hanya menemukan satu titik api, yang langsung disikat habis pakai water bombing. Gaya pemadaman ala superhero, cuma kurang background musik dramatis saja.

“Artinya sinergi jalan, tapi jangan cepat puas, kita sedang menyusun dokumen NDC 3.0 yang akan disampaikan September ini ke dunia. Artinya, dunia sedang menilai apakah Indonesia serius menjaga hutan atau hanya basa-basi,” tegasnya.

Dalam konteks ini, Hanif juga mengingatkan pentingnya penegakan hukum. “Kalau masih ada yang bandel bakar lahan, jangan cuma ditegur. Denda administratif, sanksi tegas.

Bahkan bila perlu, cabut izin usaha, alam ini bukan barang dagangan, jangan dikira hutan bisa digosok tiga kali lalu keluar jin penyiram api.

Latar penting

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menambahkan data cuaca yang menjadi latar penting “Agustus akan jadi puncak kemarau. Kita deteksi potensi kekeringan meteorologis, namun bukan berarti pasrah, dengan teknologi OMC dan sinergi lintas sektor, diyakini  bisa kendalikan situasi.”

Sekda Sumsel Edward Candra menegaskan  Pemprov siap all out, bahkan ia menyebut, tahun ini sudah ada dana khusus untuk edukasi Karhutla di desa-desa rawan.

Kalaksa BPBD Iqbal Alisyahbana menimpali, “Kami juga rekrut relawan desa, adakan simulasi rutin, dan siap lakukan penegakan disiplin. Kalau ada yang masih nakal bakar lahan, kita bawa ke depan layar proyektor, kasih nonton film ‘Asap Membuatmu Jomblo’ biar kapok.”

Dari sisi teknis, Kadis Kehutanan Koimuddin dan Kadis LH Herdi Apriansyah menjelaskan strategi monitoring dan pengawasan wilayah rawan, mulai dari pemasangan sensor asap hingga pengaktifan posko komunitas.

Di luar gedung, di bawah langit yang mulai biru kembali, Pak Jaiman yang sejak tadi kita tinggalkan di awal cerita tiba-tiba dapat undangan pelatihan Karhutla dari BPBD, ia datang dengan baju batik, topi petani, dan selembar notes kecil.

“Saya datang karena saya tahu, kalau hutan terbakar, bukan cuma pohon yang mati, tapi juga rezeki saya. Lebah kabur, semut kocar-kacir, nanas gosong,” katanya sambil terkekeh.

Pak Jaiman pun belajar memadamkan api pakai karung basah, cara menelepon posko cepat, dan yang paling penting membedakan antara kabut asap dan kabut cinta. Yang terakhir ini dia pelajari sendiri sambil dengerin lagu lawas Rhoma Irama.

Karhutla bukan musibah alami,  ia buatan manusia oleh kelalaian, keserakahan, dan kadang oleh alasan klasik “Bakar dikit aja.” Tapi dari “dikit” itu, satu provinsi bisa sesak napas. Maka sinergi bukan lagi pilihan, tapi keniscayaan.

Sumsel menunjukkan bahwa sebelum hutan batuk, pemimpinnya sudah bersinergi. Dari Wagub sampai petani, dari helikopter sampai karung basah, semua bergerak. Karena menjaga hutan tak bisa ditunda, seperti menjaga cinta: harus setiap hari, bukan musiman.

Dan seperti kata pepatah lama yang entah siapa penciptanya, tapi selalu relevan “Kalau api sudah menyala, air mata pun tak cukup buat padamkannya,maka cegahlah sebelum nyala.”

Sumsel, terus jaga paru-parumu, biar Indonesia bisa terus bernapas lega, dan jangan lupa, kalau nemu yang bakar lahan—tegur, siram, atau ajak ke pengajian, biar hatinya adem duluan.[***]

 

Terpopuler

To Top