PERNAH nggak, bro, liat kipas angin ngambek?
Nggak pernah, kan?
Padahal dia itu alat elektronik paling sabar se-rumah.
Udah tua, bunyinya ngorok kayak gergaji tumpul, baling-balingnya patah dua, dipake tiap hari, tapi tetep aja muter.
Ukurannya? Kecil, bro. Kalau masuk sekolah, pasti duduk paling depan karena nggak nutupin papan tulis. Tapi tenaganya? Bisa bikin ubun-ubun adem kayak habis nyiram kepala pakai air kulkas. Baling-balingnya mungil, tapi muternya kayak ngusir panas dari dalam neraka pribadi. Kecil badannya, gede niatnya.
Namanya Oka, bukan nama pacar, bukan nama mantan. Itu mereknya Okayama. Tapi karena udah bareng lama, gue kasih nama panggilan. Kadang Oka, kadang Yama, tergantung mood. Mirip kayak manusia makin tua, makin banyak nama panggilan dan bunyi sendi.
Coba pikir, dia itu ditempatin di atas printer yang udah pensiun, dicolok pagi-pagi buta, dicabut jam 11 malam.
Nggak pernah protes, nggak pernah istirahat, bahkan pas aliran listrik naik turun kayak emosi waktu baca komentar netizen.
Bunyi kipasnya?
Groggggg… groggg… groggg…
Kayak suara robot pilek ngunyah paku, tapi justru itu jadi alarm inspirasi “Ayo nulis, deadline nunggu!”
Kipas ini nggak punya tombol “bad mood”.
Nggak ada opsi “silent treatment”.
Nggak pernah ngambek kayak orang-orang yang cuma dipanggil pas butuh.
Coba deh tanya ke kipas-kipas lain di toko “Udah pernah kerja 18 tahun tanpa diservis, tanpa dibersihin, tanpa disayang?”
Pasti jawabnya “Maaf, saya bukan Oka”
Dan kita, manusia yang katanya makhluk paling canggih, kadang kalah mental dari kipas.
Dikritik dikit, langsung update story “Aku cuma butuh dimengerti, bukan dihakimi”
Padahal baru dibilang “Eh, ketombean ya?”
Kipas ngajarin satu hal penting “Kalau kamu bisa bikin adem, jangan bikin panas”
Dia nggak viral.
Nggak masuk FYP.
Nggak punya konten “a day in my life as a kipas underrated.”
Tapi tiap kali dinyalain, hidup terasa lebih sejuk secara harfiah dan spiritual.
Coba bayangin kalau Oka bisa ngomong, mungkin dia bakal bilang “Saya bukan kipas biasa. Saya partner kerja, penjaga deadline, dan pahlawan tanpa tisu basah”
Tapi untungnya dia nggak ngomong, karena kalau iya, mungkin dia udah resign dari tahun 2012 pas kamu taro dia di pojokan dan lupa colokin tiga hari.
Bro…
Kalau kipas aja bisa bertahan dalam debu, luka baling-baling, dan colokan yang suka longgar,
kenapa kamu dikit-dikit nyerah?
Belajarlah dari Oka.
Muter terus, walau sambil ngorok.
Kerja terus, walau gak pernah dapet ucapan “terima kasih”.
Mending jadi kipas tua tapi bermanfaat,
daripada jadi orang muda yang isinya cuma drama dan alasan.
Jadi, bro…
Daripada sibuk nyari konten self-healing di TikTok,
mending lap kipas, colok hidup, dan mulai muter lagi.
Biar hidup adem, dan nggak terus-terusan panas gara-gara overthinking, dendam, dan listrik telat bayar.
Karena Oka aja bisa bertahan di tengah putaran hidup dan tumpukan debu,
masa kamu nyerah cuma gara-gara hidup gak sesuai caption Instagram?
Muter yuk.
Mulai dari hati, bukan dari kipas. [***]