BERWISATA ke Medan tanpa mampir ke situs sejarah ibarat makan nasi goreng tanpa kecap kosong rasanya. Untungnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon baru-baru ini menyambangi Medan, bukan untuk cari bolu meranti, tapi untuk memastikan warisan budaya tak lenyap di tengah derasnya arus kopi kekinian dan cafe estetik.
Mulai dari Museum Daerah Deli Serdang, Istana Maimoon, sampai Rumah Tjong A Fie, semua ditengok satu per satu. Ini bukan kunjungan biasa, ibarat dokter yang lagi periksa denyut nadi peradaban yang mulai ngos-ngosan karena terlalu lama didiamkan, padahal jejak sejarah sebagai jangkar budaya yang bukan sekadar buat foto-foto pre-wedding.
Pertama-tama, mari kita mulai dari Museum Daerah Deli Serdang, di sana tersimpan peninggalan bernilai sejarah, salah satunya Cerutu Sultan Serdang. Ya, cerutu, Saudara-saudara!. Sebuah simbol aristokrat yang dulu mungkin menjadi ‘filter story’ para bangsawan saat rapat keluarga sambil memutuskan siapa yang boleh meminang putri sultan.
Selain itu, ada juga informasi soal relief di Gua Umang, kalau relief ini bisa bicara, mungkin dia sudah buka channel YouTube buat menceritakan kisah cinta dan peperangan zaman batu. Tapi sayangnya, teknologi belum sampai ke sana, jadi kita masih harus baca narasi pakai panel info museum.
Ketika Menbud Fadli menyambangi Istana Maimoon, ia menyatakan keinginan untuk menjadikannya cagar budaya nasional. Saya setuju, bangunan indah ini seperti seorang ratu tua yang sudah pensiun dari dunia panggung glamor, tapi masih menyimpan gaun terbaiknya di lemari.
“Mudah-mudahan bisa jadi ikon budaya Sumatera Utara,” kata Fadli. Semoga benar-benar bisa, karena kalau tidak, Istana Maimoon hanya akan jadi background TikTok yang dilupakan setelah 15 detik trending.
Lihatlah Prancis dengan Versailles-nya atau Jepang dengan Kuil Kinkaku-ji, mereka tak cuma menjual sejarah, mereka mengemasnya jadi produk wisata, edukasi, dan kebanggaan nasional. Lha kita?. Kadang malah anggaran pemugaran kalah sama anggaran bikin gapura HUT RT.
Kemudian beralihlah rombongan ke Rumah Tjong A Fie. Di sinilah saya merasa sejarah dan empati bertemu di satu titik.
Tjong A Fie bukan sekadar pengusaha, dia adalah philanthropist yang bahkan mungkin lebih dulu ngerti konsep CSR daripada perusahaan sekarang. Beliau membangun rumah ibadah lintas agama, menyumbang fasilitas publik, dan mendamaikan banyak konflik.
Jepang punya Fukuzawa Yukichi, Tiongkok punya Sun Yat Sen. Medan punya Tjong A Fie. Tapi sayangnya, seringkali kita lupa, rumah beliau hanya dikunjungi kalau ada tugas sekolah, bukan sebagai tempat ziarah ideologi keberagaman.
Menbud Fadli menyebut Istana Maimoon bisa jadi enclave budaya Melayu. Bagus, tapi enclave itu jangan cuma jadi kantong yang bolong, tempat kita menyimpan kenangan tapi lupa menjahitnya dengan program nyata.
Budaya itu seperti benang tenun, kalau tidak diikat dengan sinergi antarlembaga dan niat gotong royong, maka benangnya akan kusut, ujungnya jadi taplak meja nostalgia.
Kita bisa belajar dari Korea Selatan, yang menyulap drama sejarah jadi produk ekspor budaya lewat K-Drama dan museum digital. Medan juga bisa, asal jangan kalah semangatnya sama semangkuk soto medan yang kebanyakan santan.
Kunjungan kerja ini harus lebih dari sekadar selfie diplomatik. Harus jadi pemantik, harus jadi cikal bakal gelombang pelestarian budaya berbasis rakyat. Kalau perlu, libatkan anak muda dan bikin konten sejarah dengan gaya stand-up comedy. Buat kompetisi podcast sejarah lokal, revitalisasi bangunan tua jadi ruang kreatif anak muda.
Karena bangsa yang besar bukan cuma yang banyak pengikut TikTok-nya, tapi yang mau merawat jejak sejarahnya dengan hati-hati seperti merawat surat cinta pertama.
“Jika kita tidak menulis ulang sejarah dengan tindakan hari ini, maka generasi besok hanya akan membaca reruntuhan”.
Jadi jagalah, rawat, dan gemakan kembali suara masa lalu agar bisa membimbing arah masa depan, kadang, masa depan justru sembunyi di balik lemari antik Tjong A Fie dan cerutu Sultan yang sudah padam asapnya tapi masih membekas aromanya.[***]