Pendidikan

“Daun Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Tapi Mahasiswa Jangan Cuma Ngikut Angin, Saatnya Jadi Corong Ekoteologi!”

kemanag

SEANDAINYA pohon bisa ngomong, mungkin dia sudah teriak, Hei bro, jangan ditebang dulu dong, anak-anak gue baru tumbuh daun!”. tapi sayangnya, pohon bukan selebgram, ia itu tak punya follower yang siap viralkan penderitaannya.

Oleh sebab itu, yang bisa bersuara lantang itu seharusnya bukan batang-batang bisu di hutan, tapi manusia khususnya mahasiswa, kaum intelektual, kaum rebahan yang sedang skripsian sambil ngopi dan nyalain air purifier di kamar kos, ironi, bukan..?

Baru-baru ini, Menteri Agama, Pak Nasaruddin Umar, menyiramkan satu ide segar dalam Seminar Internasional untuk  mahasiswa di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Cimanggis, DepokUIII, Jabar.

Bukan siraman rohani, tapi siraman ekoteologi…. iya, semacam gabungan antara iman dan tanaman, antara kitab suci dan bumi yang kering kerontang.

Beliau menyampaikan bahwa krisis lingkungan itu bukan cuma soal teknologi yang kurang canggih atau mobil listrik yang belum kebeli, tapi juga soal cara pandang, mindset /pola pikir, dunia batin kita terhadap alam.

“Manusia itu kadang merasa paling super, alam dianggap objek, padahal manusia itu bukan raja hutan. Kita ini cuma kontraktor sementara di bumi” kata Menag Nasaruddin.

Islam sendiri, lanjut beliau, justru ngajarin untuk hidup berdampingan dengan alam. Nggak ada ayat yang bilang, “Tebanglah semua pohon demi endorse-an villa Instagramable”. Malah sebaliknya, dilarang keras merusak lingkungan, kalau kita merusak bumi, itu artinya kita menabrak garis iman. Titik!.

Menag juga nyeletuk ide yang agak nyentrik tapi keren “UIII bukan cuma tempat belajar internasional, tapi kenapa nggak sekalian jadi taman bunga yang mendidik?”.Nah loh, biasanya kampus dijadikan tempat nugas, sekarang disarankan jadi tempat healing!, namun masuk akal juga, pasalnya pendidikan bukan cuma dari buku, tapi dari bunga, dari alam, dari semut yang gotong royong, dari akar yang saling memberi ruang, dari daun yang gugur rela demi kehidupan baru. Cieee…

Jadi, perguruan tinggi harus jadi pabrik pencerahan, bukan sekadar pabrik sarjana, dan mahasiswa, tolong ya, jangan cuma jadi netizen yang jago nyinyir di kolom komentar. Jadilah corong!, bukan corong pengeras suara pas demo doang, tapi corong pemikiran dan kesadaran ekoteologi.

Kata pepatah, “Siapa menanam, dia akan memanen”, tapi sekarang banyak yang sibuk panen duluan, nanamnya kapan-kapan?.

Kemenag sudah mulai aksi nyata, dengan  gerakan menanam pohon di lembaga pendidikan, kantor, dan rumah ibadah. Ini bukan sekadar biar adem pas Jumatan, tapi biar iman kita makin teduh karena sadar bahwa bumi ini titipan, bukan milik pribadi.

Cocok juga dengan nasihat tokoh muda, pejuang lingkungan Greta Thunberg asal Swedia. “I don’t want your hope. I don’t want you to be hopeful. I want you to panic… and then I want you to act”- [ Greta Thunberg, Davos, 25] , ia ucapkan  dalam acara World Economic Forum di Davos, Swiss, tahun 2019. “Kita tak butuh harapan, kita butuh aksi”.

Kita tak butuh seminar full slide PowerPoint, tapi kita butuh cangkul dan bibit pohon di tangan mahasiswa, karena kita ini hidup di zaman di mana tanaman dijadikan background aesthetic buat TikTok, tapi aslinya nggak pernah nyiram.

Alam dijadikan konten, bukan kawan, padahal kalau kita baca kitab-kitab langit, semua agama besar itu memuliakan bumi.

Bahkan Rasulullah SAW pernah bilang, “Kalau kiamat datang dan di tanganmu ada biji kurma, tanamlah itu” Padahal kiamat, lho, masih disuruh nanam!.

Maka, wahai mahasiswa, kalau tugas akhirmu belum kelar, setidaknya tanamlah sesuatu pohon, kesadaran, atau harapan. Jangan tunggu bumi kasih SP-1 ke umat manusia. Mari kita buktikan bahwa generasi muda bukan cuma jago joget di Reels, tapi juga bisa menanam benih untuk masa depan.

Ekoteologi bukan ilmu langit yang susah dicerna. Ini cuma soal cara kita melihat pohon. Apakah dia cuma tiang jemuran atau sahabat hidup?. Apakah sungai itu cuma tempat buang popok bayi atau sumber berkah yang harus dijaga?.

Kita bisa mulai dari hal-hal kecil, bawa botol minum sendiri, kurangi plastik, rawat tanaman di kos, ajak tetangga buat kerja bakti, atau setidaknya berhenti buang sampah dari dalam mobil, dan kampus harus jadi basis gerakan itu. Mahasiswa harus jadi imam perubahan, bukan makmum kebiasaan.

Karena, seperti kata pepatah Jawa, “Urip iku urup” . Hidup itu menyala dan menyala itu bukan buat membakar hutan, tapi menerangi sesama.[***]

Terpopuler

To Top