Peristiwa

“Ketika Rendang Gosong Sebelum Sarapan, Drama Pagi Ini di Pasar Lemabang”

ist

SUASANA pagi yang mulai panas, karena matahari mulai terasa terik memantulkan cahayanya ke bumi Palembang, meski demikian hawa dingin masih sedikit terasa, maklum semalam juga turun hujan.

Tapi di Jalan Yos Sudarso, tepat Pasar Lemabang, Palembang, Kamis [17 /7/ 2025],  sinar merah sudah lebih dulu menguasai langit bukan fajar, tapi kobaran api yang ngamuk dari Rumah Makan Padang Putra Minang, sekitar pukul 08.45 WIB, nasi padang belum sempat ditanak, rendang belum sempat dipanasin, tapi si jago merah sudah duluan menyantap atap rumah makan itu tanpa garpu dan etika.

Lemabang, yang biasanya sudah padat karena pasar tumpah ruah di kiri kanan jalan, seperti sayur mayur berebut tempat di kasur pengantin, kali ini benar-benar lumpuh.

Begitu pula jalan yang sempit seperti niat mantan ngajak balikan itu makin menyempit karena truk-truk tronton ikut parade pagi dari arah Pelabuhan Boom Baru.

Kombinasi maut, api, pasar, truk, dan rasa panik, kalau ini sinetron, ratingnya bisa ngalahin adegan tokoh utama ketabrak truk tapi hidup lagi di episode 400. “Payo cepat bawa banyotu, pake ember bae lah, yang penting biso padamke api ini!”, teriakan seorang pedagang sayur membelah kepulan asap, suaranya keras melebihi promo minyak goreng 2 liter Rp 20 ribu.

Ia lari-lari sambil nyangkul ember air, seperti tentara pasar yang bersenjatakan galon bekas, di belakangnya, warga ikut gerilya memadamkan api, entah dengan air, daun pisang, atau doa.

Polisi juga turun tangan, walau tangan mereka sibuk ngatur lalu lintas sambil jadi pawang kepanikan, sebagian berusaha memindahkan motor-motor yang diparkir sembarangan, sebagian lainnya melototi kabel-kabel listrik yang menggantung seperti mie instan tak jadi dimasak, rawan nyamber api.

Warga setempat, dengan mata yang masih ngantuk dan rambut acak-acakan, berdiri di pinggir jalan dengan muka cemas. Maklum, rumah makan itu ada di tengah kawasan padat, dan listrik di daerah situ sering nebeng tiang tetangga. Satu nyala api, bisa nyulut satu RT.

Enam unit mobil pemadam sudah stand-by, lengkap dengan selang dan baju ala astronot. Tapi karena jalanan macet seperti hati yang belum move on, mereka mesti nyempil-nyempil seperti pacar baru yang belum diterima keluarga. Untungnya, mereka cepat tanggap, karena kalau tidak, bukan cuma rumah makan yang gosong bisa-bisa rendang dimakamkan bersama bangunan.

“Api cepat, tapi semangat warga lebih cepat,” ujar seorang emak-emak sempat nonton peristiwa itu usai belanja yang pagi itu belum sempat pulang ke rumah,  tapi sudah sibuk jadi komentator lapangan.

Ia bilang, suasana seperti ini mengingatkannya pada zaman kecil saat lomba lari bawa karung, penuh semangat dan teriakan.

Sampai berita ini ditulis, penyebab kebakaran belum bisa dipastikan, apakah dari sambungan listrik?, kompor? atau dendam pribadi rendang terhadap dendeng? Yang jelas, rumah makan legendaris itu kini dilalap si jago merah yang lapar dipagi hari, harum daun jeruk dan santan kini digantikan oleh bau gosong dan plastik terbakar.

Peristiwa ini jadi pengingat bahwa keselamatan itu bukan cuma soal memasang alat pemadam api di dapur, tapi juga soal kebiasaan berjaga.

Pasar yang padat, kabel yang kusut, dan masak terkadang lengah,  kayak kisah percintaan di usia 30, dan akses jalan yang sempit membuat risiko makin besar. Namun di balik bencana, ada semangat gotong royong yang patut diacungi jempol dan ember.

Dalam dunia yang makin cepat seperti microwave, kejadian ini mengingatkan kita bahwa solidaritas warga adalah slow-cooker yang tetap hangat butuh waktu, tapi bikin hati adem,  seperti kata pepatah Minang, “Tataplah ke depan meski nasi hangus, karena kehidupan bukan cuma soal rendang”.

Jadi,  doakan semoga nantinya Rumah Makan Putra Minang bisa bangkit lagi seperti biasa, karena Palembang tanpa nasi padang, ibarat pempek idak becuko, masih bisa dimakan, tapi kurang mantap!”.[***]

Terpopuler

To Top