Agribisnis

PIRING RAKYAT: “Dari Lumbung ke Lambung, Ketahanan Ekonomi Dimulai dari Ketulusan Membangun Pangan”

ist

BICARA swasembada pangan, semua orang semangatnya bisa mengalahkan supporter timnas waktu adu penalti. Tapi jangan lupa, swasembada itu bukan spanduk yang dibentangkan tiap ada kunjungan menteri, apalagi sekadar seminar dengan air mineral rasa formalitas.

Swasembada adalah kerja keras dari ujung pacul hingga ujung piring makan rakyat, ketika Sriwijaya Economic Forum (SEF) 2025 digelar Bank Indonesia Sumsel dengan tema “Akselerasi Program Swasembada Pangan untuk Mewujudkan Ketahanan Ekonomi Sumsel yang Berkelanjutan”. Kita patut memberi tepuk tangan dan apresiasi….., lalu bertanya pelan “Lalu, bagaimana implementasinya di lapangan, Pak?”. Bahkan kita juga wajib angkat topi, tapi juga wajib bertanya “Setelah ini, apa yang digarap?”.

Sekretaris Daerah Sumsel, Drs. H. Edward Candra, MH, sudah menyampaikan sederet program yang bisa bikin bulir padi bergetar haru, dari Gerakan Sumsel Mandiri Pangan (GSMP), target produksi 1 juta ton Gabah Kering Giling, cetak sawah 1 juta hektare, bantuan benih, irigasi, sampai pembinaan petani milenial dan UMKM agro.

Sungguh, bukan program sembarangan, karena kalau berhasil, bukan tak mungkin Sumsel ekspor rendang ke Dubai, dan ngopi sawah di Norwegia. Namun, sebagaimana pepatah petani bilang “Padi takkan tumbuh dari rencana, tapi dari cangkul yang turun ke tanah”.

Narasi-narasi program yang dibacakan di forum kadang terlalu megah untuk realita lapangan. Di balik janji ‘1 juta hektare cetak sawah’.

Terkadang memang masih muncul masalah klasik, masih banyak lahan tidur yang dibiarkan mendengkur, petani yang masih kebingungan soal pupuk bersubsidi, dan irigasi yang kering karena pompa rusak tapi suratnya belum naik meja camat. Ini bukan kritik sinis, tapi teguran halus yang semoga menyiram akal sehat.

Sebab kata orang tua. “Kalau mau mengingatkan sapi yang lari dari kandang, jangan dilempar batu, cukup panggil dengan rumput”.

Boleh sejenak kita menengok keluar pagar, lihatlah Desa Tamansari di Banyuwangi, yang kini jadi ikon pertanian terpadu berbasis wisata dan digitalisasi, berkat sinergi antara pemerintah daerah, petani, dan investor lokal. Di sana, petani bukan cuma menanam, tapi juga mengelola hasil panen, membuat pupuk sendiri, dan bahkan punya homestay untuk turis.

Kalau ingin menengok lebih jauh, ada Desa Kurkku di India Selatan, yang jadi role model pertanian organik mandiri. Mereka mengusung prinsip “Makan dari tanah sendiri”, memproduksi benih sendiri, bahkan punya bank benih lokal. Pemerintah setempat tak cuma memberi bibit, tapi juga membantu pemasaran dan pendampingan koperasi petani.

Bahkan di Jepang, Kamikatsu, sebuah desa kecil di Prefektur Tokushima, sukses membangun ekonomi sirkular pertanian. Mereka punya bank kompos desa, sistem pertanian terintegrasi, dan komunitas lansia yang tetap aktif bercocok tanam.

Petani di sana tak cuma hidup, mereka makmur dan dihormati, meskipun usia mereka rata-rata sudah di atas 65 tahun. Petani milenial? Di sana malah muncul istilah baru, yakni istilahnya petani pensiun yang produktif.

Kita berharap Sumsel semakin maju, seperti contoh di atas, padahal tanah mereka tidak seluas Sumsel?, semoga komitmen luas kemauan dan kesungguhan dapat mewujudkannya.

Solusinya yang harus dilakukan pertama, perkuat data lapangan, banyak program hebat terjebak angka estimasi, padahal sawah tak tumbuh dari Excel. Validasi kebutuhan petani harus lebih presisi, dari kondisi air hingga akses pupuk.

Kedua, digitalisasi pertanian dengan sentuhan manusiawi, kalau ada aplikasi untuk ngatur AC dari HP, kenapa tidak buat dashboard interaktif yang bisa bantu petani lapor kelangkaan pupuk atau air secara real-time?. Tapi ingat, jangan terlalu ribet, petani itu sibuk ngurus hama, bukan password.

Ketiga, bangun koperasi pangan modern, jangan biarkan petani milenial cuma jadi baliho kampanye. Bina mereka agar bisa bertani dengan pola bisnis, punya jaringan distribusi, dan bahkan melek ekspor. Kalau perlu, buat Petanipreneur Hub, tempat anak muda belajar bertani sekaligus buka toko online beras organik.

Terakhir, libatkan desa sebagai poros pangan daerah, yakni bangun pusat pelatihan pangan di desa, dan jadikan kepala desa sebagai manajer pangan setempat, bukan hanya pejabat tanda tangan proposal, karena dari desa, lahir ketahanan, bukan dari hotel berbintang, meskipun pendinginnya sejuk dan kopinya gratis.

Kita juga mengapresiasi komitmen Bank Indonesia, yang lewat Pak Bambang Pramono, terus mendukung GSMP, memberi fasilitas usaha tani, dan mengangkat fakta bahwa Sumsel adalah produsen padi nomor lima nasional. Tapi, posisi kelima itu juga harus dibarengi dengan peringkat pertama dalam kesejahteraan petani, bukan hanya produksi. Jangan sampai, Sumsel kenyang panen tapi petaninya tetap lapar.

Bukan sekadar mimpi

Swasembada pangan bukan sekadar mimpi sawah yang dibalut PowerPoint, ia adalah gerakan nyata dari lumpur ke lumbung, dari desa ke kota, dari janji ke aksi.

Karena seperti pepatah khas kampung “Yang panen padi jangan kalah pintar dari yang panen tepuk tangan”, pastikan forum-forum seperti SEF 2025 tak berhenti jadi acara tahunan penuh selfie dan sambutan, tapi benar-benar jadi titik tolak gerakan pangan dari bawah.

Di tengah dunia yang makin tak pasti, ketahanan pangan adalah pertahanan paling utama. Bukan dengan jargon, tapi dengan cangkul, benih, dan gotong royong yang nyata.

Kalau kita ingin makan dari tanah sendiri, jangan hanya bicara, ayo mulai mencangkul bersama, sebab  kalau terlalu lama sibuk bermusyawarah tanpa turun ke sawah, bisa-bisa nanti yang swasembada malah negara tetangga, sementara kita cuma swasembada webinar.

Petani kita juga bukan butuh janji manis seperti gula rafinasi, tapi harga gabah yang masuk akal, pupuk yang sampai tepat waktu, dan saluran irigasi yang tidak sekering bibir waktu puasa.

Tanamlah dalam hati, apalagi “Negara kuat bukan karena gedung tinggi, tapi karena dapur rakyatnya tidak pernah kosong”.

Semoga Sumsel tak hanya jadi provinsi penghasil padi, tapi juga contoh ketahanan pangan yang mengakar dan mengangkat martabat petani, kalau petani bahagia, kita semua bisa tertawa sambil makan nasi, bukan cuma tepuk dada tanpa isi.

Pastikan forum-forum seperti SEF 2025 tak berhenti jadi acara tahunan penuh selfie dan sambutan, tapi benar-benar jadi titik tolak gerakan pangan dari bawah.[***]

Terpopuler

To Top