WAKIL Gubernur Sumsel, H. Cik Ujang, datang ke Musi Banyuasin bukan untuk bagi-bagi sembako atau nyalon lewat senam, tapi bawa misi menyelamatkan anak-anak dari kepunahan tradisi yang makin akut melalui program “KORMI Goes To School”, beliau tampaknya sadar, anak sekarang lebih lihai main jempol di layar daripada loncat enggrang di tanah lapang.
Acara ini dikemas dengan semangat “Sumsel Bugar”, digelar di halaman rumah dinas Bupati, yang mendadak berubah jadi arena nostalgia massal. Lengkap dengan senam, doorprize sepeda, dan kursi roda buat NPCI, semua dibungkus dalam semangat gotong royong yang makin langka, kayak ketapel yang disangka alat sniper zaman purba oleh anak zaman now.
Memang saat ini permainan tradisional sudah kayak kaset pita, ada di museum, hilang dari halaman sekolah. Enggrang, gasing, kelereng, gerobak sodor, bahkan petak umpet, kini hanya tinggal kenangan, bahkan Google Maps pun tak bisa melacaknya, apalagi anak-anak saat ini lebih hafal nama skin di Mobile Legends ketimbang cara bikin gasing dari kayu nangka.
Program KORMI Goes To School ini hadir ibarat nasi uduk di tengah menu diet ala Barat, gunanya untuk mengingatkan kita bahwa lokal itu lezat, sehat, dan kadang lebih bikin bahagia.
Wakil Gubernur menyadari, anak-anak sekarang tak hanya kehilangan permainan tradisional, tapi juga kehilangan rasa berkeringat. Mereka olahraga pakai jempol, bukan kaki.
Padahal, seperti kata pepatah lama (yang barangkali juga sudah dilupakan), “Di dalam badan yang sehat, tersembunyi kemampuan untuk menolak sinyal Wi-Fi demi main galah asin”. Artinya? Sudah waktunya kita cabut charger, keluar rumah, dan ajak anak-anak kita loncat tali, bukan loncat ke metaverse.
Program ini tak hanya layak didukung, tapi juga perlu dievaluasi biar tak sekadar seremoni, jangan sampai permainan tradisional cuma hidup setahun dua tahun, habis itu dikubur lagi oleh kurikulum yang terlalu berat sebelah. Kalau bisa, sekolah-sekolah bikin jadwal rutin “Jumat Tradisional”. semacam jam pelajaran di mana siswa disuruh main layangan, bukan bikin slide PowerPoint.
Kritik tipis-tipis buat pemangku kebijakan jangan sekadar selfie di acara, tapi pastikan program ini jalan terus. Jangan seperti gebrakan yang penuh semangat di awal, lalu meredup di tengah jalan, kayak niat diet setelah lihat diskon ayam geprek.
Bayangkan betapa bahagianya jika kelak lomba antar sekolah tidak hanya lomba pidato dan paskibra, tapi juga lomba main engrang cepat dan lomba balap karung gaya bebas, sebab yang kita butuhkan bukan hanya generasi cerdas, tapi juga generasi lentur pinggang dan tangguh kaki, biar nggak gampang ambruk dihajar dunia kerja.
Dan terakhir, kalau bisa program “Goes to School” ini jangan cuma mainan buat anak-anak, guru juga bisa ikutan karena siapa tahu dengan main gasing, stres menghadapi kurikulum bisa berkurang, dan murid lebih hormat karena gurunya jago lompat tali.
Tradisi itu bukan barang antik, tapi warisan yang bisa bikin sehat. Jadi kalau kita masih pengen anak-anak kita kuat, cerdas, dan nggak cuma jago push rank, ajaklah mereka turun ke tanah, biarkan baju kotor oleh lumpur, bukan cuma bersih karena filter media sosial.
Toh, kata orang bijak zaman dulu “Main gasing lebih baik daripada main perasaan”, siapa tahu, dari permainan sederhana itu, lahir pemimpin masa depan yang seimbang otak dan ototnya bukan cuma pinter debat di medsos, tapi juga jago balap karung kalau dibutuhkan. Jika Wakil Gubernur serius bikin “Festival Nasional Gerobak Sodor” ajang unjuk gigi, bukan untuk gengsi.[***]