DI tengah kebisingan dunia yang makin mirip panci presto, penuh tekanan dan bunyi desis, datanglah kabar dari bumi Serasan Sekate, Muba, tentang sumur minyak rakyat yang jumlahnya kini sudah tembus 12 ribu. Iya, DUA BELAS RIBU, bukan angka siluman dari dukun marketing, tapi estimasi resmi dari Pemkab Muba. Kalau sumur itu dikumpulkan, bisa-bisa bikin museum bawah tanah lengkap dengan tur virtual, snack gratis, dan tenda biru buat selfie.
Nah, Pemerintah Provinsi Sumsel rupanya nggak mau ini jadi seperti kolam lele tanpa pagar liar, amis, dan penuh risiko sehingga ditetapkanlah tanggal 10 Juli 2025 sebagai deadline untuk menginventarisasi semua sumur minyak rakyat. Sebuah tenggat yang rasanya mirip deadline skripsi anak kos bikin deg-degan, tapi tetap bisa ditunda pakai alasan “printer rusak”.
Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025 pun menjadi bintang utama. Permen ini bukan yang bisa dikulum, tapi bisa bikin Kepala Daerah dan SKK Migas kering tenggorokan karena harus ngobrol berjam-jam sambil debat soal sumur, izin, hingga siapa yang bakal disalahkan kalau meledak. Sebuah permen yang manis bagi regulasi, tapi getir bagi praktik di lapangan.
Sekretaris Daerah Muba, Dr. Apriyadi, dengan tenang (dan mungkin secangkir kopi) menyebut bahwa jumlah sumur rakyat sudah tembus 12 ribu. Coba bayangin, kalau tiap sumur dijaga satu satpam, Muba bisa punya pasukan lebih besar dari serial Game of Thrones.
Permasalahannya, sumur-sumur ini selama ini hidup dalam zona abu-abu, alias antara legal dan ilegal. Bak mantan yang masih suka nge-like status, tapi nggak pernah ngajak balikan sumur ini bikin galau. Di satu sisi, jadi mata pencaharian masyarakat, di sisi lain, bikin lingkungan jadi kayak wajah remaja jerawatan bopeng-bopeng akibat pengelolaan asal-asalan.
Oleh sebab itu, hadirnya Permen ESDM 14, diharapkan bisa jadi “sisir bergigi rapat” untuk merapikan rambut kusut sektor minyak rakyat, diharapkan juga BUMD, Koperasi, dan UMKM bisa turun tangan, bukan sekadar numpang selfie sambil bilang “kami hadir untuk rakyat”.
Perlu diingat, jangan sampai proses legalisasi ini malah jadi legalisasi penderitaan baru, di mana rakyat harus ngantri tanda tangan kayak mau minta BLT, atau disuruh bikin koperasi yang ujung-ujungnya cuma berisi ketua dan sekretaris yang rajin rapat tapi nihil tindakan. Jangan pula sumur yang sudah ditata malah dimonopoli, dan rakyat yang menggali jadi penonton dalam bisnis yang dulu mereka rintis pakai tangan kering, niat tulus, dan semangat ‘pokoknyo biso makan anak bini’.
Pepatah bilang, “Lebih baik punya sumur yang dangkal tapi jelas, daripada sumur dalam yang isinya cuma janji dan proposal,”. Nah lho!
Permasalahan minyak rakyat ini sejatinya bukan cuma soal produksi dan target sejuta barel per hari. Ini tentang harga diri dan kedaulatan ekonomi lokal. Sumur rakyat harusnya bukan cuma jadi angka di spreadsheet kementerian, tapi juga jadi simbol kemandirian, kekompakan, dan kreativitas wong kampung yang bisa menghidupkan dapur dari ladang emas hitam di belakang rumah.
Jangan sampai nanti, ketika semua sudah tertata rapi, yang menikmati cuma “orang pusat”, sementara rakyat cuma dijadikan tukang gali cadangan yang digaji pakai senyuman. Ingat, sumur itu digali dengan peluh, bukan wacana. Jangan sampai dikeruk semangat rakyat, tapi ditinggal tanggung jawabnya.
Semoga 10 Juli nanti bukan sekadar tenggat seperti tugas sekolah yang kelak dihapus Google Classroom, karena siswa lupa upload. Tapi jadi momentum, bahwa sumur rakyat bukan lagi cerita kelam, tapi kisah inspiratif tentang gotong royong energi lokal. Dan kepada pejabat yang terlibat, jangan cuma jago rapat, tapi ayo turun ke lapangan. Ingatlah pepatah dari rakyat Muba “Minyak bisa menguap, tapi keresahan rakyat bisa meledak!”.[***]