Pemerintahan

Dari Posko ke Perubahan, Cerita Serius di Balik Celoteh Mahasiswa Kepada Wagub Sumsel

ist

Sumselterkini.co.id, – Kalau kamis kemarin, anda ikut menyelinap masuk ke Ruang Tamu Wakil Gubernur Sumatera Selatan, jangan kaget kalau suasananya agak beda dari biasanya. Tidak ada aroma kopi tubruk khas tamu-tamu dinas, tapi yang hadir adalah rombongan mahasiswa yang datang bukan untuk numpang WiFi atau ikut pelatihan “how to jadi aktivis elegan”.

Mereka datang membawa keresahan, karena kampus sekarang bukan lagi tempat aman untuk berpikir, tapi mulai terasa seperti labirin penuh jebakan, dari pungutan liar sampai pelecehan seksual. Di kursi tamu yang empuk itu, duduklah Yoga Aldo Novensi, Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Sumsel, yang hari itu tak sedang membawa proposal lomba catur, tapi niat serius ingin mendirikan Posko Pengaduan Mahasiswa.

Ada satu kalimat bijak dari petuah nenek zaman dulu yang tak pernah kadaluarsa dan layak untuk direnungkan, bunyinya sederhana. “Bila anak muda sudah berani bersuara, itu tandanya negeri ini masih punya harapan”. Itulah yang dilakukan  Yoga Aldo Novensi, Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Sumsel, saat menyambangi Wakil Gubernur Sumatera Selatan, H. Cik Ujang.

Ia tidak datang untuk minta usulan beasiswa, namun menyampaikan keresahan kampus sekarang makin mirip pasar malam ramai, tapi banyak hal gelap yang tak terang-terangan diakui.

Ya, di balik toga dan skripsi, ternyata ada cerita soal pelecehan seksual dan pungutan liar yang masih berseliweran di balik tembok kampus. Kampus, yang seharusnya jadi tempat menimba ilmu dan mencetak pemimpin masa depan, malah sebaliknya, sering jadi tempat mahasiswa diuji bukan oleh soal ujian, tapi oleh keberanian untuk bersuara.

LMND Sumsel pun mengajukan satu ide sederhana tapi cerdas, yakni mendirikan Posko Pengaduan Mahasiswa. Tempat curhat, lapor, dan speak up. Bukan posko makan gratis atau tempat fotokopi skripsi, tapi tempat para mahasiswa bisa mengadu, tanpa takut dibungkam atau dibisikin, misalnya “Udahlah, nanti kamu nggak lulus loh”.

Kabar baiknya, Cik Ujang menyambut ide itu bukan dengan menguap atau main HP, tapi dengan dukungan hangat. Katanya, kalau memang niatnya baik, Pemprov Sumsel akan ikut mendukung. Ini langkah yang patut diapresiasi, karena, jujur saja, banyak pejabat  yang lebih cepat merespons undangan makan daripada usulan program serius mahasiswa.

Mari kita bawa kisah ini ke dunia luar, di Korea Selatan, tepatnya di Seoul National University, ada platform digital bernama SNU Whistle, tempat mahasiswa bisa melaporkan kasus pelecehan atau penyalahgunaan wewenang secara anonim. Hasilnya?. Banyak dosen dan staf kampus mulai berhati-hati dalam bertindak, karena tahu mahasiswa bisa bicara kapan saja.

Lalu di Swedia, Universitas Lund bahkan punya “student ombudsman”, semacam perwakilan independen mahasiswa yang berfungsi sebagai pengawal keadilan kampus. Kalau ada masalah, bukan langsung ke rektorat, tapi ke ombudsman ini dulu. Gak perlu demo, cukup satu laporan, sistem bergerak.

Kembali ke tanah air, Universitas Gadjah Mada (UGM) sempat disorot, karena kasus pelecehan di KKN yang akhirnya memicu gerakan “Breaking the Silence”. Dari sana lahirlah sejumlah regulasi dan SOP baru untuk menjamin keselamatan mahasiswa. Tapi semua itu bermula dari satu hal, yakni mahasiswa berani bersuara, dan kampus membuka telinga. Pertanyaannya apakah kampus-kampus di Sumsel siap membuka telinga mereka? atau masih pura-pura sibuk ngatur jadwal wisuda?.

Kalau kampus masih dianggap zona suci yang tak boleh dikritik, maka mahasiswa akan terus belajar dua hal yang tidak diajarkan di buku kuliah, cara diam dan cara bertahan, Kalau itu terus terjadi, maka percuma kita bangun gedung tinggi dan laboratorium canggih, karena isinya adalah mental-mental ketakutan.

Sebuah posko memang terdengar sederhana, bahkan mungkin dianggap ‘kebanyakan gaya’. Tapi justru dari tempat-tempat sederhana seperti itulah, perubahan besar sering bermula. Pepatah lama bilang, “Batu besar pun bisa pecah oleh tetesan air yang konsisten”. Nah, Posko Pengaduan ini bisa jadi tetesan air itu.

Jadi, jika hari ini ada mahasiswa yang datang ke pejabat pemerintah untuk menyampaikan keresahan dan bukan sekadar foto-foto, maka itu adalah tanda baik. Yang kurang sekarang hanyalah komitmen nyata dari pihak kampus, apakah mereka berani membuka pintu, atau akan terus pasang satpam untuk jaga citra?.

Membangun posko pengaduan mahasiswa bukan sekadar membangun meja dan kursi. Ini tentang membuka ruang aman, membangun keberanian, dan membentuk kultur baru di kampus bahwa ketidakadilan bisa dilawan tanpa harus dibisukan. Oleh sebab itu, Pemprov Sumsel sebaiknya tak hanya dukung secara lisan, tapi juga logistik dan regulasi.

Apalagi Kampus  itu bukan medan perang, juga jangan jadi zona nyaman para pelaku pungli dan predator seksual. Kalau mahasiswa sudah berani bersuara, maka sekarang giliran negara hadir mendengar,  kata pepatah Madura yang patut direnungkan “Ajunan pote mata, tape’ pote tolang”. (Mending buta mata, daripada buta hati).

Sejatinya, Posko Pengaduan Mahasiswa ini bukan cuma tenda darurat penuh keluhan, tapi fondasi kecil dari kampus masa depan yang lebih manusiawi. Kalau selama ini mahasiswa dipaksa belajar Public Speaking tapi dilarang Public Screaming, maka posko ini hadir agar suara mereka nggak cuma bergema di status WhatsApp dan kolom komentar TikTok.

Kita tidak sedang membangun kantor polisi mini di kampus, tapi membangun budaya speak up yang sehat, karena kampus itu bukan tempat mahasiswa jadi robot penurut, tapi manusia kritis. Jangan biarkan para predator moral berseliweran seperti hantu gentayangan yang tak bisa ditangkap karena alasan “itu bukan urusan kampus”.

Perlu diingat!, diam adalah emas, tapi di lingkungan kampus yang penuh pungli dan pelecehan, diam bisa berubah jadi racun. Jika biarkan mahasiswa terus-terusan bungkam, bukan tidak mungkin  akan panen generasi lulusan dengan IPK tinggi tapi nyali rendah, skripsi tebal tapi prinsip tipis.

Bantu realisasi posko ini, karena pepatah Minang bilang “Nan sabana harato bukan emas jo intan, tapi harga diri ka diri awak,”. Kalau kampus tidak bisa menjaga harga diri mahasiswa, maka kita sedang gagal dalam mendidik bangsa, kalau pemerintah hadir sebagai pendengar, bukan penonton, maka Sumatera Selatan tak hanya punya gedung kampus yang megah, tapi juga jiwa kampus yang waras.[***]

Terpopuler

To Top