Sumselterkini.co.id, -Kalau bicara nelayan, jangan cuma ingat ikan asin dan ombak menggelora, di balik perahu reyot dan jala bolong, ada harapan hidup yang terus ditambal tiap hari. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meluncurkan program Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP), rakyat pesisir pun pasang layar harapan. Tapi, seperti kata pepatah Bugis, “Engka’ padatta na nasaba, rengngakko mappoji’ ri lino”, maksudnya jangan sampai kita cuma semangat di awal, tapi lupa arah layar saat angin datang.
Program ini, katanya, bukan sekadar simbol,tapi lho ya, awas jangan-jangan cuma simbol doang rumah-rumah dicat merah putih, terus nelayannya tetap makan mi instan tiap malam. Jangan sampai jadi kayak acara lomba 17-an heboh di pembukaan, tapi habis itu hilang ditelan angin laut.
Lebih dari 4.000 penyuluh dikerahkan. Ini bukan pasukan Avengers, tapi kalau digarap serius bisa jadi pahlawan ekonomi rakyat pesisir. Mereka tahu seluk-beluk pantai lebih dalam dari sekadar tahu jenis terumbu karang. Tapi mari jujur, di banyak tempat, para penyuluh ini seringkali hanya jadi pelengkap penderita dalam laporan program, layaknya nasi kotak yang cuma dilirik pas acara selesai.
Mereka harusnya bukan cuma kasih penyuluhan sekali setahun, terus foto-foto lalu balik naik speed boat dinas, mereka perlu jadi tangan kanan nelayan, bahkan kalau perlu, jadi tukang baiki jaring atau bantu hitung hasil tangkapan buat laporan koperasi.
Program KNMP katanya akan membangun pelabuhan, pabrik es, sentra kuliner, sampai docking kapal. Wah, mantap betul. Tapi mari kita lihat dulu, siapa kontraktornya, siapa pengawas lapangannya, dan siapa yang pegang palu waktu peletakan batu pertama. Jangan sampai nanti proyeknya mangkrak kayak dermaga impian di Pulau Harapan, yang akhirnya jadi tempat selfie belaka. Atau malah proyeknya habis buat bayar konsultan dari kota, sementara nelayannya masih nambal perahu pakai tambalan ember bekas.
Dalam membangun kampung nelayan, kita harus tahu bahwa membangun bukan cuma urusan semen dan batu bata, tapi juga membangun rasa percaya diri dan daya saing nelayan. Jangan sampai kampungnya kinclong, tapi nelayannya tetap dijerat rentenir atau menjual ikan ke tengkulak dengan harga harga teman tapi nyiksa.
Ada pepatah Tiongkok bilang, berikan seseorang ikan, ia makan sehari, ajarkan ia memancing, ia makan seumur hidup, tapi kita perlu tambahkan berikan juga tempat pelelangan yang adil, pabrik es yang berfungsi, dan koperasi yang tak hanya aktif saat audit.
Coba tengok ke Jepang, di sana, nelayan kecil bisa sejahtera karena koperasi benar-benar dijalankan, teknologi didampingi, dan akses pasar dibuka. Hasil tangkapan nelayan Jepang bisa tembus pasar internasional, karena didampingi dari hulu ke hilir. Di Indonesia? Nelayan kita kadang baru tahu harga ikan mereka ketika tengkulak sudah kirim stiker terima kasih via WhatsApp.
Solusi dari laut, untuk laut, antara lain penyuluh perikanan perlu dilibatkan sejak awal perencanaan hingga pengawasan proyek. Beri mereka akses langsung ke sistem penganggaran dan pengambilan keputusan, jangan cuma jadi tamu undangan di rapat. Bangun koperasi nelayan yang modern dan digital. Sudah 2025, masa nelayan masih pakai buku nota bon?. Berikan pelatihan teknologi pascapanen dan pemasaran digital, generasi muda nelayan harus bisa jualan ikan lewat marketplace, bukan cuma lewat teriakan di pasar.
Libatkan perempuan dan pemuda pesisir dalam pelatihan dan program, banyak ibu-ibu nelayan yang cakap mengelola hasil tangkapan jadi produk olahan tinggal difasilitasi. Audit independen untuk pembangunan fisik, karena dermaga rusak sebelum digunakan itu bukan mitos, tapi kenyataan pahit di banyak daerah.
Pogram Kampung Nelayan Merah Putih bisa jadi mercusuar kebangkitan ekonomi pesisir, tapi harus diawasi agar tidak berubah jadi lampu hias yang mati-mati hidup, jangan sampai penyuluh yang idealis malah patah hati di tengah jalan karena sistem yang lebih senang pada simbol daripada substansi. Jangan pula nelayan cuma jadi objek pameran program yang gemerlap tapi tak menyentuh dapur mereka.
Kalau mau bangun Indonesia dari pinggiran, bangunlah nelayannya, bukan hanya pelabuhannya, bangun daya tawar mereka, bukan hanya tiang bangunan, bangun pula koperasi yang hidup, bukan sekadar nama yang tinggal papan nama.
Sebab, negeri ini bukan cuma daratan yang subur, tapi juga lautan yang kaya, dan nelayan bukan hanya pahlawan protein rakyat, tapi juga penjaga kedaulatan dari batas terluar negara. Oleh sebab itu jangan biarkan mereka sendirian melawan gelombang beri mereka alat, beri mereka akses, dan beri mereka tempat dalam pembangunan, karena membangun kampung nelayan itu bukan soal mengecat rumah warna merah putih, tapi soal menjaga harga diri bangsa di batas air terakhir Nusantara.[***]