Palembang Terkini

Masjid Makmur Dimulai dari Keikhlasan

ist

Sumselterkini.co.id, – Di dunia yang makin gemerlap ini, kita sering kali lebih sibuk nyari masjid yang bagus, bukan masjid yang makmur. Ubinya harus Spanyol, karpetnya Turki, sound system-nya kayak studio podcast artis. Tapi… makmurnya? Masih kalah sama pos ronda. Pengajian sepi, Salat berjamaah bisa dihitung jari, marbotnya ngopi sendiri. Padahal yang utama itu bukan masjid bagus, tapi masjid makmur.

Jumat kemarin, udara Kalidoni mendadak sejuk bukan karena pendingin ruangan, tapi karena  Masjid Al-Hidayah kedatangan Wali Kota Palembang, Pak Ratu Dewa. Acaranya komplit Salat Jumat berjamaah, penandatanganan batu prasasti, dan yang bikin jamaah senyum semringah, komitmen memberi insentif Rp500 ribu untuk para marbot se-Kota Palembang.

Tentu kita sambut dengan takbir dan tepuk tangan spiritual. Tapi eh… jangan sampai niat baik ini dikaburkan oleh drama bernuansa “yang kerja si B, yang tercatat si A, yang nerima honor si C.” Bisa-bisa nanti marbotnya kayak sinetron stripping banyak plot twist dan aktornya gonta-ganti tiap episode!.

Marbot itu profesi yang sering luput dari perhatian, tapi keberadaannya vital, dari nyalain speaker subuh, motong rumput halaman masjid, sampai ngurus tikus yang nyelip di laci mimbar. Dan mereka, kebanyakan, melakukan itu semua dengan satu alasan lillah ta’ala karena cinta, bukan karena cuan.

Tapi ya… kalau ada tambahan insentif, tentu itu bentuk apresiasi, bukan sogokan. Yang penting, jangan sampai kebijakan ini justru jadi ladang rekayasa spiritual, marbotnya cuma ada di data Excel, tapi wujudnya hilang seperti makmum ghaib kalau kayak gitu, namanya bukan memakmurkan masjid, tapi memakmurkan oknum.

Mari kita kembali ke ruh dasar masjid, bangunan boleh sederhana pakai seng bekas dan karpet tipis sumbangan RT, tapi kalau isinya aktif, jamaahnya ramai, pengajiannya jalan terus, maka masjid itu jauh lebih mulia dari masjid yang megah tapi sepi, kayak mal habis lebaran.

Sebab, kenyataannya banyak masjid kita yang kubahnya menyilaukan, toilet wudunya bersih mengilap, pengeras suaranya jernih kayak konser di gedung pertunjukan tapi sayang, tata kelola dan manajemennya kaki lima. Uang kas nggak jelas, siapa pengurus harian saja masih debat, dan marbotnya sering kali kerja sendiri sambil mengelus dada.

Perumpamaannya begini lebih baik punya rumah papan yang selalu ramai kumpul keluarga, daripada rumah tiga lantai yang penghuninya saling kunci kamar. Masjid pun begitu. Mau ubinnya bukan dari Italia, kipasnya bunyinya “ngiiiing”, nggak masalah. Yang penting ada yang ngaji, ada yang dzikir, ada yang bersih-bersih tanpa pamrih.

Program Pemkot memberi insentif marbot ini patut kita dukung, tapi tentu saja harus dibarengi dengan pendataan yang benar-benar jujur dan fair. Jangan asal setor nama, lalu dibagi-bagi kayak amplop kawinan. Validasi di lapangan penting. Cek siapa yang betul-betul tiap hari nyapu masjid, bukan yang cuma mampir kalau ada pejabat datang.

Kalau sistem ini lepas kontrol, nanti muncul marbot-musiman. Saat ada honor, semua mendadak jadi marbot. Tapi giliran kipas rusak dan tikar bau, pada menghilang bagaikan sandal jamaah habis Salat Jumat.

Masjid makmur bukan lahir dari megahnya bangunan, tapi dari kuatnya komunitas, ikhlasnya pelayanan, dan hadirnya kegiatan ibadah. Maka dari itu, kita harus jaga marwah program ini. Insentif boleh jalan, tapi semangat lillah tetap utama.

Dan jangan sampai di kemudian hari marbot jadi sekadar status sosial baru, lengkap dengan lobi-lobi untuk dapat jatah. Marbot bukan jabatan, tapi ladang pahala. Jadi, biarlah yang mencatat di langit itu malaikat, bukan bendahara kelurahan yang keliru entry.

Kita doakan, semoga Masjid Al-Hidayah dan semua masjid lainnya makin makmur, makin semarak, dan makin bersahaja karena sejatinya, masjid yang kecil tapi hidup, lebih mulia daripada masjid besar yang kosong seperti hati mantan yang sudah move on.

Dan kembalikan makna masjid sebagai rumah bersama tempat hati berlabuh, tempat ruhani diisi, dan tempat silaturahmi tak pernah putus. Jangan sampai masjid hanya jadi bangunan arsitektur instagramable, tapi miskin interaksi dan penuh kekisruhan.

Kita sepakat, masjid yang makmur jauh lebih berharga daripada masjid yang sekadar mewah sebab kemakmuran masjid tidak diukur dari seberapa tinggi kubahnya atau seberapa kinclong karpetnya, tapi dari seberapa banyak orang yang tersentuh oleh kegiatan, pelayanan, dan suasana yang teduh di dalamnya.

Tentu saja, marbot, para penjaga sunyi itu adalah bagian penting dari denyut nadi masjid serta beri mereka haknya, tanpa perlu ada drama “Tiga Serangkai” yang kerja satu, yang daftar satu, yang terima… satu keluarga!.

Kalau masjid kita rawat bersama, dikelola dengan baik, dan diisi dengan keikhlasan, Insya Allah, bukan cuma masyarakat yang sejuk, tapi juga langit ikut tersenyum karena di situ ada tanda masjid tak hanya hidup, tapi menghidupkan. Aamiin.[***]

Terpopuler

To Top