Uncategorized

Pendekatan Life Course berbasis Pendidikan Karakter ala Ki Hadjar Dewantara

Sebagian besar orangtua menganggap pendidikan adalah tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan. Persepsi ini akhirnya menciptakan porsi yang tidak seimbang pada capaian tujuan pendidikan. Dimana aspek kognitif memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan aspek afektif dan psikomotor.

MENURUT Teori Pembangunan Manusia (Human Development Theory), membangun kualitas manusia tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, melainkan harus dimulai sejak seseorang berusia dini, bahkan sejak seseorang masih dalam kandungan ibunya (Adioetomo & Elda, 2018).

Teori inilah yang jarang dipahami oleh kita, khususnya orangtua. Sebagian besar orangtua menganggap pendidikan adalah tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan. Persepsi ini akhirnya menciptakan porsi yang tidak seimbang pada capaian tujuan pendidikan. Dimana aspek kognitif memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan aspek afektif dan psikomotor.

Pada 2017, Human Development Report menunjukkan bahwa education index Indonesia, berada diperingkat ketujuh se-ASEAN. Sedangkan daya saing Indonesia jika dilihat dari talenta sumberdaya manusianya (SDM) menurut Global Talent Competitiveness Index (GTCI) (2019) berada pada peringkat keenam se-ASEAN.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di ASEAN. Oleh karena itu, dalam kondisi bonus demografi saat ini, Indonesia mesti serius berbenah. SDM Indonesia ke depan tidak hanya memerlukan keterampilan teknis (hard skill), tapi juga kecakapan hidup (life skill/soft skill).

Kecakapan hidup itu, kita kenal dengan karakter. Indonesia memang masih memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam hal membangun dan meningkatkan pendidikan karakter.

Bagaimana tidak? Karakter lemah bangsa Indonesia seperti; koruptif, tidak logis, meremehkan mutu, tidak percaya diri, tidak disiplin, mengabaikan tanggung jawab, hipokrit, lemah kreativitas dan lain sebagainya (Listyarti, 2012), masih sangat sering kita saksikan terjadi baik pada kalangan non terdidik dan terdidik.

Pada sisi lain, disrupsi secara tidak lansung telah mengeser tujuan pendidikan nasional, sehingga lebih terfokus menghasilkan lulusan yang menguasai scientia (Suparlan, 2015).

Tersedianya layanan konten tanpa batas, platform pendidikan kolaboratif, aplikasi-aplikasi yang mobile dan responsif, (Kasali, 2017), kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) (Savitri, 2019), mampu meningkatkan aspek kognitif anak secara cepat, namun lemah pada aspek afektif.

Akibatnya lebih banyak lulusan pendidikan yang berpikir dan bersifat pragmatis serta materialistis. Padahal membangun negara tidak hanya butuh orang-orang pintar/intelektual, namun juga perlu orang orang-orang jujur, disipilin, komitmen, bertanggungjawab dan lain sebagainnya.

Maknanya modal manusia (human capital) tidak cukup hanya meliputi keterampilan teknis (hard skill), namun juga perlu karakter (soft skill). Secara teoritis karakter seseorang dapat diamati dari tiga aspek, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Listyarti, 2012).

Dengan demikian untuk mencapai tujuan Human Development Theory, diperlukan metode untuk mencapai tiga aspek karakter tersebut, sedangkan eksekutor utamanya adalah keluarga (orangtua). Karena tugas membangun modal manusia tidak dapat dilepaskan dari peran utama keluarga, khususnya dalam hal pembentukkan karakter. Oleh karenanya, sangat penting bagi keluarga (orangtua) untuk memahami pendekatan daur hidup (life course) dan pendidikan karakter (character education).

World Bank (2006), National Research Council dan Institute of Medicine (2005) menggunakan pendekatan daur hidup (life course) dalam upaya melakukan intervensi terhadap tumbuh kembang anak sebagai aset bagi bangsa. Berdasakan pendekatan ini, keluarga dapat mengupayakan pendidikan dan pola asuh terbaik untuk anak-anak mereka pada setiap tahapannya, mulai dari anak belajar pendidikan dalam rumah, membangun kesehatan, menuju dunia kerja, berkeluarga, dan kewarganegaraan. Dalam pelaksanannya pendekatan daur hidup

(life course) dapat diintegrasikan dengan pendidikan karakter (character education), yang dalam tulisan ini penulis namakan pendekatan daur hidup berbasis pendidikan karakter (life course approach based on character education).

Golden Age Dalam pendekatan life course terdapat usia emas anak (golden age), yaitu usia 0-6 tahun. Pada usia ini, pembiasaan pendidikan karakter sangat ditekankan diberikan oleh keluarga.

Sebagai contoh, orangtua dapat memberikan pendidikan pada anak-anak di rumah dengan cara melakukan perbuatan baik secara nyata, misal ketika minum menggunakan tangan kanan, makan sambil duduk, dan tidak berkata-kata kasar atau membentak. Pemahaman ini juga selaras dengan konsep konsep Taman Indria (balita) menurut Ki Hadjar Dewantara.

Taman Indria memiliki tujuan untuk memasukan diri anak dalam kebudayaan sejak dini lewat konsep belajat Tri No, yaitu nonton (kognitif), niteni (afektif), dan nirokke (psikomotor) (Suparlan, 2015). Anak diharapkan dapat melihat (nonton) secara pasif dengan segenap panca indera apa saja perbuatan baik yang dilakukan oleh orangtuanya. Lalu menandai atau mempelajari (niteni) hal-hal baik yang dilihat dan kemudian menirukannya (nirokke).

Namun demikian, intervensi keluarga tidak hanya dapat dilakukan pada masa golden age. Intervensi dapat mulai diberikan sejak seribu hari pertama kehidupan. Seribu hari pertama kehidupan dihitung dari sejak bayi dalam kandungan sampai usianya dua tahun (9 bulan + 2 tahun = 1000 hari pertama kehidupan). Intervensi keluarga pada fase ini dapat dilakukan sejak 270 hari pertama bayi dalam kandungan.

Intervensi yang dilakukan berupa pengawasan dan perhatian terhadap asupan ibu hamil dan janin. Ibu hamil diusahakan harus sehat, tidak anemia, tidak kerdil (stunted), dan pertambahan berat badan yang cukup waktu hamil. Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya bayi yang dilahirkan sehat, cerdas, tidak menderita Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Dari sisi karakter, orangtua dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang positif seperti mengelus perut dengan kasih sayang, memanggilnya dengan panggilan yang baik dan lembut, membaca al-qur’an dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut secara tidak langsung akan memberikan dampak positif kepada janin yang ada dalam kandungan.

 

Remaja

Pada usia remaja, anak-anak mulai memasuki tahap pendidikan formal. Orangtua berperan dalam memutuskan sekolah mana yang akan menjadi wahana pendidikannya. Orangtua berperan memastikan anaknya untuk memiliki kecapakan hidup baik hard skill maupun soft skill.

Kemudian, setelah itu, orangtua tidak dapat berlepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada sekolah. Orangtua harus tetap menjadi pengontrol bagi perkembangan pendidikan anak, khususnya di rumah. Orangtua harus aware terhadap kompetensi apa yang harus dikuasai oleh si anak sehingga dapat relevan dengan dunia kerja di masa depan. Orangtua juga harus berkolaborasi dengan pihak sekolah supaya senantiasa dapat berkerjasama mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Meskipun demikian, pendidikan karakter harus tetap ditanamkan supaya menjadi kebiasaan atau karakter si anak. Ketika di rumah orangtua sebaiknya membiasakan anak-anak mengucapkan kata ‘tolong’ ketika akan meminta orang lain membantunya.

Atau membiasakan anak-anak mengucapkan kata ‘maaf’ jika ia melakukan kesalahan sekecil apapun. Meski sederhana, namun kebiasaan tersebut akan berdampak pada perilakunya di luar rumah dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kuncinya orangtua harus konsisten dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara bersama-sama. Jangan sampai hanya menyuruh tapi tidak melakukan.

Selain memasuki dunia pendidikan formal, pada fase ini anak juga tengah memasuki usiaremaja, yang artinya tantangan yang berhubungan dengan rasa ingin tahu dan coba-coba sangat tinggi. Untuk itu, keluarga harus memberikan bimbingan tidak hanya soal pendidikan karakter, namun juga pendidikan reproduksi. Jangan sampai anak-anak kita tabu dengan hal-hal yang

berhubungan dengan reproduksi. Sebab, pada fase ini anak-anak sangat rentan terhadap perilaku- perilaku menyimpang seperti, pergaulan bebas, narkoba, merokok, dan lain sebagainya.

Sesibuk apapun orangtua, wajib untuk memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Pendekatan life course dan konsep pendidikan karakter ala Ki Hadjar Dewantara merupakan kombinasi yang sangat baik untuk ditanamkan sebagai pola dasar pendidikan keluarga Indonesia.

Jika dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar, bukan tidak munkin life course approach based on character education tidak hanya dapat mewujudkan tiga aspek karakter, namun juga mampu mewujudkan tujuan pendidikan serta pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Jangan sampai kita bersusah payah membangun bisnis dan karir yang maju, namun aset yang sangat berharga kita malah hancur karena terjerumus pada pergaulan dan pendidikan yang tidak tepat dan baik. [**]

 

Penulis :  Armansyah

Dosen dan Peneliti Bidang Pendidikan dan Kependudukan Universitas PGRI Palembang

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com