SEJAK peristiwa tragedi WTC pada 11 September 2001 lalu, komunitas Islam dipandang sebagai penyebab tragedi tersebut, hingga Islam pun di stereotipkan sebagai agama teroris. Seluruh dunia pun mempunyai kecemasan tersendiri jika memandang agama Islam.
Di Indonesia pun kecemasan tersebut turut singgah, di masyarakat mulai menyebar tuduhan muslim sebagai teroris. Tuduhan tersebut semakin nyata sejak terjadinya peristiwa bom Bali, pada 12 Oktober 2002 serta ditambah dengan penangkapan beberapa orang Islam seperti Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra, bahkan seorang ustadz tua, seperti Abu Bakar Baasyir pun dicurigai sebagai salah satu oknum jaringan Al- Qaeda dan juga sebagai dalang terjadinya kekacauan di negeri ini.
Akibat kasus tersebut, akhirnya masyarakat mulai takut dengan penampilan pria berjenggot lebat dan menggunakan atribut Islam. Selain pria pemelihara jenggot, masyarakat juga takut dengan perempuan yang menggunakan gamis serta cadar yang menutup sebagian wajahnya.
Masyarakat menilai penampilan tersebut adalah penampilan seorang teroris. Sehingga pria pemelihara jenggot dan keluarganya pun tak luput dari kecemasan karena ada kemungkinan menjadi sasaran penangkapan dari pihak kepolisian.
Phobia terhadap Islam pun semakin bertambah ketika Indonesia dimasuki isu tentang Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) atau yang berideologi semacam itu, yang menginginkan terbentuknya khilafah Islamiyyah. Serta terjadinya rangkaian bom – bom bunuh diri para pasukan ekstrimis dan radikal yang mengatasnamakan perbuatan jihad.
Islam di Indonesia yang sedari dulu hidup damai, tenteram, dan harmonis pun akhirnya mulai ditaburi dengan debu-debu negatif, seperti radikalisme dan ekstrimisme, liberalisme dan sekularisme, hingga maraknya aliran-aliran (keislaman) yang telah melenceng dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Sebut saja beberapa aliran-aliran sesat yang tumbuh di Indonesia seperti Ahmadiyah, kelompok aliran Islam yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad dari India sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Namun aliran ini tidak dibubarkan oleh pemerintah tanpa alasan yang pasti walaupun MUI menyatakan aliran ini sesat.
Lalu ada juga Islam Salamullah yang dipimpin oleh Lia Aminuddin atau Lia Eden. Lia mengaku sebagai jelmaan roh Maryam, sedang anaknya, Ahmad Mukti yang kini hilang, mengaku sebagai jelmaan roh Nabi Isa as dan imam besar agama Salamullah ini Abdul Rahman, seorang mahasiswa alumni UIN Jakarta, yang dipercaya sebagai jelmaan roh Nabi Muhammad SAW.
JIL (Jaringan Islam Liberal), juga termasuk aliran Islam sesat. kelompok yang berpaham pluralisme agama ini tidak mengakui hukum Tuhan, bahkan aliran yang dikoordinir oleh Ulil Abshar Abdalla ini menghalalkan semua yang diharamkan oleh agama.
Disinilah peran pemerintah dibutuhkan, jika pemerintah bisa bersikap sensitif, responsif,transparan, dan bertindak adil terhadap kasus-kasus yang mengindikasikan penistaan terhadap suatu agama atau umat beragama, maka perpecahan di masyarakat akan bisa dihindari. Oleh karena itu, setiap kebijakan pemerintah harus terbuka serta menonjolkan sisi mengayomi dan egaliter, agar tidak terjadi kesalah pahaman antara penganut aliran Islam satu dan lainnya yang seakan terkesan seperti di adu domba.
Jangan sampai terjadi kembali seperti rezim Orde Baru lalu, di mana kebijakan Orde Baru yang sangat kritis dengan organisasi Islam membuat organisasi Islam menjadi termarginalkan, sehingga sepanjang tahun 1970 –1988 kata-kata “ekstrem kanan”, “NII”, “mendirikan Negara Islam”, “SARA” dan “Anti Pancasila” sangat gencar dituduhkan pada organisasi Islam.
Maka dari situ timbulah perlawanan besar-besaran oleh NU, Muhammadiyah, HMI dan berbagai organisasi lainnya yang memakai nama Islam sebagai asas dan nafas perjuangannya. Sehingga Presiden Soeharto dipusingkan oleh perlawanan tersebut.
Mungkinkah peristiwa diatas akan terjadi dengan kondisi politik hari ini yang semakin memanas saling menyudutkan satu sama lainya, saling menjatuhkan dan saling menyesatkan. Pergolakan itu sangat dirasa sampai ditingkatan masyarakat bawah yang mudah sekali mengatakan sesat kepada yang bukan satu aliran bahkan satu pilihan ini sangat menghawatirkan bagi saya terhadap generasi millenial jangan sampai mudah terpengaruh dengan berita hoax dan paham atau aliran – aliran yang bisa menimbulkan perpecahan dan permusuhan.[**]
Penulis : Budina Sofiyan
Politisi Muda Partai Demokrat