Uncategorized

‘Melawan Korupsi Untuk Pembangunan’

foto : istimewa

KORUPSI telah banyak menimbulkan kerugian di berbagai sektor. PerserikatanBangsa-bangsa (PBB) mencatat, korupsi adalah kejahatan serius yang dapat melemahkan pembangunan sosial dan ekonomi di semua lapisan masyarakat. Baik negara, wilayah, maupun masyarakat dirasa tidak kebal terhadap kejahatan ini.

Setiap tahunnya, PBB mencatat sekitar $2,6 triliun lenyap akibat korupsi. Angka tersebut setara dengan 5 persen PDB (Pendapatan Domestik Bruto) global.

Hari Anti-Korupsi Internasional muncul semenjak berlakunya Konvensi Anti-Korupsi PBB pada 31 Oktober 2003. Majelis Umum lewat Resolusi 58/4 menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Anti-Korupsi Internasional. Keputusan itu diambil untuk meningkatkan kesadaran betapa bahayanya korupsi serta menunjukkan peran PBB—yang diwakili UNDP dan UNODC—dalam memberantasnya.

Konvensi tersebut menyatakan bahwa PBB prihatin tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas keamanan masyarakat, institusi ataupun nilai demokrasi, pembangunan berkelanjutan, sampai supremasi hukum. Dengan konvensi anti-korupsi itu pula, PBB bermaksud mempromosikan dan memperkuat langkah-langkah pencegahan dalam pemberantasan korupsi secara lebih efisien maupun memfasilitasi pelbagai kerjasama internasional.

Untuk tahun ini, Hari Anti-Korupsi Internasional mengambil tema “melawan korupsi untuk pembangunan, perdamaian, dan keamanan.” Tujuan kampanye ini ialah menegaskan bahwa bagaimana korupsi telah mempengaruhi pendidikan, kesehatan, keadilan, demokrasi, kemakmuran, serta pembangunan. Guna memeranginya, diperlukan kerja sama maupun partisipasi antara pemerintah, sektor swasta, organisasi non-pemerintah, media, dan warga seluruh dunia.

Afrika: Wilayah Paling Korup di Dunia?

Tidak ada negara yang kebal dari korupsi. Hanya kadar korupsinya yang berbeda di masing-masing negara. Transparency International mengeluarkan Corruption Perception Index yang mendata tingkat korupsi pada negara-negara di penjuru dunia. Ada beberapa hal yang dicatat Transparency International melalui laporannya. Pertama, faktor yang menyebabkan negara memiliki indeks korupsi rendah ialah buruknya institusi publik macam polisi dan pengadilan, masifnyapenyuapan, pemerasan, sampai penyalahgunaan anggaran oleh pejabat pemerintah.

Kondisi demikian dapat menyebabkan korupsi tumbuh subur, sistemik, melanggar HAM, hingga menghambat pembangunan berkelanjutan. Contoh nyata bisa dilihat di kasus korupsi Petrobas, perusahaan minyak nasional asal Brazil.

Kedua, negara dengan indeks korupsi tinggi (dalam artian tingkat korupsinya rendah) cenderung memiliki kebebasan pers, keleluasaan akses terhadap informasi, standar integritas yang kuat, dan sistem peradilan independen. Ketiga, korupsi dan ketidaksetaraan berandil dalam berkembangnya populisme.

Sepuluh besar negara dengan indeks korupsi tinggi mayoritas diduduki negara dari Eropa seperti Denmark, Swedia, Swiss, Norwegia, Belanda, dan Jerman. Tetangga Indonesia, Singapura menjadi satu-satunya wakil Asia yang masuk ke dalam kategori tersebut. Sedangkan pada sepuluh besar terbawah, tujuh di antaranya adalah negara-negara Afrika seperti Somalia, Sudan Selatan, Suriah, Yaman, Sudan, Libya, dan Guinea-Bissau.

Dari sini lantas muncul pertanyaan: benarkah Afrika bisa dikatakan wilayah paling korup? Dan apabila betul, mengapa korupsi bergerak begitu masif di Afrika? Pimpinan Transparency International Jose Ugaz mengatakan: “Korupsi [telah] menciptakan dan meningkatkan kemiskinan di samping melahirkan pengucilan. Di saat para pemegang kekuatan politik menikmati kehidupan yang mewah, jutaan orang Afrika menghadapi kekurangan kebutuhan dasar: makanan, minuman,pendidikan, kesehatan, perumahan, serta akses air bersih maupun sanitasi.”

Ucapan Ugaz bukannya tanpa dasar. Korupsi telah menyebabkan sekitar $50 miliar raib tiap tahunnya di Afrika. Sebagian besar kasus korupsi di Afrika merupakan penyuapan. Di Ghana, misalnya, korupsi terjadi dalam bentuk “penjarahan saham.”

Politisi, pejabat publik, serta pelaku bisnis saling berkolusi untuk memperoleh keuntungan dari perjanjian kontrak usaha antara pemerintah dan swasta. Lalu di Nigeria, para pejabat disuap oleh kontraktor asing dari Inggris dan Italia sebesar $1,1 miliar agar bersedia melepas akses ke ladang minyak yang disinyalir bernilai$500 miliar. Perusahaan ban Amerika, Goodyear bahkan menyuap pejabat Kenya dan Angola sekitar $3,2 juta untuk memenangkan kontrak.

Data dari Bank Dunia menjelaskan, 71 persen perusahaan di Sierra Leone, 66,2 persen perusahaan di Tanzania, 64 persen perusahaan di Angola, 75,2 persen perusahaan di Kongo, dan 63 persen perusahaan di Mali berharap dapat memberikan “hadiah” agar memperoleh kontrak dari pemerintah.

Suap nyatanya tidak sebatas dilakukan para elit pemerintah melainkan juga oleh masyarakat di Afrika. Hasil survei berikut memperlihatkan satu dari lima orang Afrika dinyatakan membayar suap untuk mendapatkan dokumen resmi maupun akses terhadap kesehatan. Survei tersebut dilakukan dengan 43.000 koresponden di 28 negara Afrika.

“Ini [suap] terjadi mungkin karena orang miskin merasa tidak berdaya untuk melawan pejabat korup,” ujar koordinator penelitian dan survei Transparency International, Coralie Pring. “Ketika menghubungi polisi, lebih dari seperempat orang mengatakan pada kami bahwa mereka perlu menyuap untuk mendapatkan bantuan atau menghindari masalah.”

Stephanie Hanson dari Council Foreign Relations menjelaskan ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk memutus mata rantai korupsi di Afrika, di antaranya menciptakan badan anti-korupsi. Sejauh ini hanya dua negara saja dengan keberadaan badan pengawas korupsi yang dianggap efektif yakni Namibia dan Malawi.

Selanjutnya, memperkuat institusi yang ada. Menurut para ahli, institusi pemerintahan di Afrika cenderung memfasilitasi lahirnya korupsi sebab terdapat ketidakseimbangan antara eksekutif, legislatif, serta pengadilan. Yang terakhir, Hanson menyarankan agar negara-negara Afrika mengurangi ketergantungan terhadap bantuan luar negeri.

Bagi sebagian pengamat ekonomi, hadirnya donor asing justru menjadi celah untuk korupsi serta menghancurkan hubungan antara negara dan rakyat mengingat anggaran ini rawan disalahgunakan karena proses pencairannya tak seketat anggaran belanja pemerintahan.

Dengan kondisi Indonesia hari ini maka seharusnya kita melakukan reformasi hukum secara terus menerus sehingga tidak memberi ruang munculnya niat dan tindakan korupsi. Di Indonesia, peringkat pertama korupsi justru terjadi di kalangan birokrasi, DPRD dan kepala daerah. Bentuk korupsi yang dilakukan bukan lagi sekedar manipulasi uang transportasi, hotel dan uang saku, tetapi tender proyek fiktif, pemerasan, mark-up pengadaan barang hingga pengelakan pajak.[**]

Penulis : Budina Sofiyan

Politisi  Muda Partai Demokrat

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com