Uncategorized

Kenduri Janji di Negeri ‘Haha-Hihi’

foto : istimewa
SEJAK reformasi sekian tahun yang lalu, negeri ini telah berubah menjadi Negeri Haha Hihi. Para politisi, orang-orang yang berkuasa dibirokrasi, para praktisi di semua lini, sama-sama memiliki kebiasaan baru, yaitu ber-‘Haha-Hihi’ (bercanda—bersenda-gurau). Inilah antiklimaks dari kebebasan demokrasi besutan reformasi.

‘Haha-Hihi’ adalah letupan kegembiraan yang menyedihkan di alam demokrasi yang kehilangan esensi, seperti yang sedang terjadi dewasa ini. Seolah carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara bisa selesai dengan ’dagelan-dagelan’ politik yang seringkali ditampilkan oleh para politisi dan kalangan elite negeri ini.

Di tengah masyarakat merebak pula polarisasi yang tak kalah humoris, namun miris yaitu dikotomi Kampret dan Kecebong. Di satu pihak mereka mengatakan Kampret kepalanya terbalik, sehingga otaknya juga terbalik. Di pihak yang lainnya, mereka mengatakan Kecebong otaknya kecil sehingga tidak bisa berpikir.

Masing-masing pihak kemudian larut dalam satir-satir saling sindir. Fenomena ini meluas hingga ke akar rumput. Nyaris tanpa bisa dibendung, bak aliran air terjun di lereng gunung. Di Negeri ‘Haha-Hihi’ sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, semuanya terjadi. Negative Labeling. seperti yang terjadi saat ini adalah suatu bentuk nir-adab, amoral dan sama sekali tidak membangun.

Lalu kemanakah hilangnya nilai-nilai kesantunan yang selama ini menjadi doktrin utama masyarakat kita? Di manakah Pancasila berbekas? Nothing! Sejak pesta demokrasi diadakan di negeri ini, lima tahun sekali kita merayakan ‘Kenduri Janji’ dari para politisi.

Apa yang rakyat dapatkan? Tak lain tak bukan adalah bingkisan kebohongan. Untuk lucu-lucuan, kebohongan mungkin memiliki value sebagai sesajian wajib yang tidak bolek tidak harus tetap dibawa dan digunakan. Di tahun politik, mulai lagi bertebaran bingkisan ‘Janji Politik’ berbumbu black campaign dengan topping berupa berita-berita miring pihak lawan politik dan juga hoaks. Siapa yang bisa dipegang janjinya?

Nyaris tidak ada. Meskipun mungkin masih tersisa beberapa gelintir politikus-politikus yang masih menggenggam idealisme mereka. Akan tetapi mereka yang ‘sok suci’ selalu akan menjadi Common Enemy. Di tahun politik seperti ini, Negeri ‘Haha-Hihi’ bisa tiba-tiba berubah menjadi Negeri Sejuta Janji ‘Haha-Hihi’. Para politisi mulai sibuk mempersiapkan ‘janji’ demi mendapatkan kursi.

Sebab tidak ada yang mampu tampil percaya diri tanpa membawa ‘Seikat janji dan Seikat dusta’ untuk bisa menjadi politisi yang duduk di kursi ‘kekuasan’ yang di Negeri ‘Haha-Hihi’. Lalu bagaimana kita harus bersikap sebagai rakyat biasa menghadapi musi ‘Kenduri Janji’ di tahun politik ini?  Dibawa santai saja sambil ngopi?! Adakah celah bagi kita untuk ikut berperan menghadapi ‘huru-hara’ ini?

Apakah golput? Apakah harus terlibat aktif berkampanye untuk para politisi dengan upah sebungkus nasi? Tidak. Rakyat harus semakin teredukasi dengan tidak menelan mentah-mentah iming-iming atau janji-janji politik.

Mungkin perlu juga untuk melakukan scanning dengan cara yang sama, seperti ketika memastikan selembar kertas adalah uang palsu atau asli: diraba dan ditrawang! Masyarakat harus jeli membaca track record masing-masing politisi.

Kita bisa meraba kinerja mereka yang tahun-tahun sebelumnya sudah diberi amanah dan mandat oleh rakyat untuk mewakilinya. Kita harus peka terhadap kondisi kita sendiri. Para buruh, guru-guru honorer,tenaga kesehatan yang TKS, pekerja outsourching, pedagang kecil dan buruh migrant. Mereka adalah kita, saudara-saudara kita atau bahkan memang kita sendiri.

Apa yang telah para elite upayakan untuk ‘menolong’ mereka? Siapa di antara mereka yang paling berjibaku memperjuangkan nasib kaum marginal? Siapa yang paling peduli terhadap penderitaan rakyat banyak?

Apakah mereka yang berkuasa benar-benar telah menggunakan kekuasaannya untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia? Siapa yang mereka lebih utamakan? Anak-anak negeri ataukah orang-orang asing? Siapa yang paling banyak berjanji? Ingat, janji-janji dan kebohongan cenderung berbanding lurus.

Artinya, semakin seseorang itu banyak mengobral janji, maka peluang untuk dia mengingkari janjinya akan kian besar. Di tahun-tahun politik, tiba-tiba bermunculan para pemberani bak cendawan di musim hujan.

Para pemberani yang berani obral janji, berani berbohong, berani bersumpah potong telinga, berani menabok dan berani masuk got untuk mendulang simpati. Semoga keberanian, seperti ini akan tetap lestari demi kebaikan Negeri ‘Haha-Hihi’ di alam mimpi.

Rahasia Keberanian

Terkait dengan keberanian ini, William Shakespeare dalam ‘As You Like It’, pernah mengatakan: “Dia menulis ungkapan berani, bicara dengan kata-kata berani, bersumpah dengan sumpah berani, dan melanggarnya dengan berani.” Begitu juga Yusril pernah mengatakan “Janji politik hanya berkekuatan moral dan tidak punya kekuatan hukum. Jadi, kalau digugat ke pengadilan pun akan susah dikabulkan pengadilan,” kata Yusril di Kafe Phoenam, Jakarta Pusat, Senin (11/4/2016).

Inilah rahasia keberanian mereka (para politis) untuk mengumbar janji. Oleh karena mereka tahu bahwa janji politik hanya berkekuatan moral dan tidak berkekuatan hukum. Mungkin salah satu tanda kemerosotan moral bangsa ini adalah semakin banyaknya janji para politisi.

Padahal rakyat tak butuh janji-janji, meskipun terkadang rakyat sendiri yang suka menagih janji. Di saat semua serba sulit, yang bisa dilakukan rakyat hanyalah berdoa dan mengadu kepada Yang Maha Kuasa.

Mungkin juga mereka membutuhkan hiburan berupa dongeng sebelum tidur. Sekedar menghalau penat dan keputusasaan. Di Negeri Haha-Hihi, konon rajanya adalah si Pahit Lidah. Oleh karena apa yang meluncur dan menggema lewat ketukan lidahnya adalah kepahitan bagi mayoritas rakyatnya. BBM naik sekian kali, TDL naik sekian kali, barang-barang kebutuhan mahal. Komoditas pertanian dan perkebunan anjlok di pasaran. Rakyat menjerit, mengadu menatap langit yang pucat pasi. Dalam doa mereka Semoga nanti di tahun depan, ada pangeran berkuda yang gagah perkasa menggantikannya. Menghapuskan kepahitan dan menghalau segala sebab ketidaknyamanan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini. Gerakan masyarakat ‘akar rumput’ seharusnya bisa mengambil peran besar dalam perpolitikan Tanah Air. Siapa yang paling menentukan?

Rakyatlah yang paling menentukan nasib bangsa ini ke depan. Ada yang pandai sekali berjanji tetapi hampir tidak ada yang ditepati dan diwujudkan dalam realisasi, sebagai rakyat—pewaris sah—Republik ini maka ‘tenggelamkan’ dia beserta ‘Janji Politik’ yang mereka bawa dengan tidak memberikan suara kepadanya.

Di Negeri ‘Haha-Hihi’, ‘Kenduri Janji’ akan dilaksanakan secara masif tidak lama lagi. Jika diundang, datanglah. Nikmati saja hidangannya. Setelah kenyang, silakan ambil bingkisannya. Pilih bingkisan yang paling besar dan isinya banyak. Mari, kita berkontribusi dalam upaya memberikan edukasi kepada para politisi dan kaum elite negeri ini.

Pada 2019 nanti, kita berikan pelajaran tentang bagaimana tetap tenang dan berakal sehat meskipun kekuasaan tak lagi di tangan.[**]

 

Oleh Apriliyantino

Tenaga Honorer di Lempuing Jaya

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com