DUNIA kaya dengan bahasa. Tak terhitung jumlah yang pasti keberadaan bahasa di dunia ini. Namun, berdasarkan penelitian ditemukan 7.000 bahasa yang digunakan oleh hampir tujuh miliar orang. Sementara, di Indonesia sendiri terdapat 718 bahasa daerah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa/BPPB pada Oktober 2019). Itupun tidak termasuk dialek atau gaya Bahasa. Indonesia memang terkenal dengan budayanya. Bahasa merupakan produk budaya suatu bangsa. Jadi, patutlah kita untuk selalu melestarikan bahasa sebagai warisan budaya nenek moyang.
Bahasa merupakan suatu sistem simbol bebas yang digunakan oleh anggota masyarakat. Menurut Halliday (1973) ada tujuh fungsi bahasa, salah satunya fungsi personal, yaitu bahasa berfungsi sebagai pengungkap perasaan, emosi, dan isi hati seseorang. Acapkali seseorang memberikan sebuah pernyataan dengan menggebu-gebu dan meyakinkan. Diksi yang dipergunakan mewakili perasaan penuturnya untuk meyakinkan lawan tutur orang tersebut.
Berbicara mengenai diksi sebuah bahasa, ada banyak gaya bahasa yang dipakai dalam mengekspresikan sebuah tuturan ataupun meluapkan ide/gagasan ke dalam bentuk tulisan. Penggunaan gaya bahasa dalam berkomunikasi, baik komunikasi lisan maupun tuilsan untuk mempertegas atau mengungkapkan sesuatu dengan bahasa yang lain, seperti menyindir, membandingkan atau menyamakan.
Bahasa Indonesia sebagai warisan nenek moyang yang sangat berharga. Perkembangannya tergantung dari bagaimana pemakai bahasa itu sendiri. Dari tradisi lisan, seperti pantun kita telah mengenal kekayaan bahasa. Sejak dahulu kita sudah mengenal majas atau secara tradisional disebut dengan gaya bahasa, seperti majas penegasan, perbandingan, pertentangan, dan sindiran. Hingga kini, majas atau gaya bahasa tersebut masih sering digunakan dalam berbagai lini kehidupan, termasuk gaya bahasa di media massa.
Media massa adalah bahasa, sedangkan bahasa itu sarat dengan kepentingan inheren. Gaya bahasa mewarnai pilihan bahasa yang disampaikan jurnalis ataupun narasumber di media massa. Diksi atau pilihan kata diungkapkan hingga membentuk wacana dalam media massa. Selayaknya, wacana tersebut membentuk proporsi dalam sebuah tulisan. Namun, terkadang efek bahasa konotatif lebih kental ditampilkan. Apalagi, di masa sekarang media massa online atau media cyber “menjamur” mewarnai kehidupan sehari-hari. Akses informasi lebih cepat diterima oleh masyarakat.
Selain media massa, media sosial juga meramaikan informasi bagi masyarakat. Suka tak suka, media sosial seperti twitter, Instagram, facebook dan sebagainya ini lebih “hebat” lagi dalam hal penggunaan bahasa. Keberadaan pernyataan-pernyataan dalam media sosial ini juga sering terdapat di dalam media massa, khususnya media online. Misalnya, cuitan atau tuit pada twitter. Hal ini untuk memperkuat atau memperjelas berita yang dihadirkan agar pembaca lebih memahaminya. Selain itu, juga tuitan tersebut sebagai relasi atau berkaitan dengan berita yang sedang dihadirkan kepada masyarakat atau pembaca.
Seperti pada pemberitaan yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan. Sebuah kasus tentang polemik sebuah partai besar di negeri ini yang melibatkan pejabat di istana. Konflik terjadi di partai tersebut mendapat tanggapan dari masyarakat, tak terkecuali pada cuitan atau tuitan pada twitter. Misalnya, “pagar makan tanaman. Kacang lupa kulit” (dilansir dari Warta Ekonomi.co.id, 28 Februari 2021). Terlihat juga dalam pernyataan lain yang terungkap pada Portal Berita Liputan6.com edisi 7 Maret 2021, “Mereka adalah para petarung, para petarung yang sah”.
“Pagar makan tanaman”, peribahasa tersebut bermakna orang yang seharusnya melindungi, tetapi malahan ia sebagai penghancur atau perusak. Artinya, seseorang yang diharapkan menjadi pelindung dari orang lain ataupun lembaga, tetapi orang tersebut malah menjadi perusak di orang lain atau lembaga. Seperti itulah yang disampaikan dalam tuitan di atas. Sama halnya dengan peribahasa ” Kacang lupa kulit” bermakna orang yang melupakan asal usulnya sehingga menjadi sombang dan tak tahu diri.
“Mereka adalah para petarung, para petarung yang sah”, ungkapan ini bermakna untuk mencapai kesuksesan diperlukan perjuangan dan semangat yang pantang menyerah. Namun, perjuangan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sah atau legal. Bukan dengan menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai.
Di kehidupan sehari-hari banyak kita temui ungkapan-ungkapan atau pernyataan seperti yang telah disebutkan di atas. Artinya, kata-kata kiasan tersebut seharusnya membuka wawasan kita untuk berpikir dan bertindak. Banyak persoalan hidup yang telah digambarkan atau menjadi realita kehidupan. Orang-orang yang sukses, tetapi melupakan jasa-jasa orang yang telah ikut menjembataninya menuju kesuksesan. Kemudian, sering juga dijumpai seseorang yang diharapkan menjadi panutan, malah menjadi biang kerok dari semua persoalan.
Sukses merupakan dambaan semua orang. Akan tetapi, proses menuju kesuksesan haruslah dilakukan dengan langkah atau jalan yang benar, seperti mengikuti alur kehidupan. Bukan simsalabim/abracadabra. Semoga.[***]
Penulis:
Dr. Darwin Effendi, M.Pd.
Dosen Universitas PGRI Palembang