JIKA zaman dulu, hafalan Qur’an itu seperti menanam padi di sawah pakai kerbau pelan, butuh tenaga ekstra, dan sabar nunggu musim panen. Sekarang, dengan bantuan teknologi, proses itu bisa lebih mirip menanam padi hidroponik di balkon apartemen praktis, cepat, dan bisa dipanen tanpa takut banjir.
Begitupula dengan para penyandang disabilitas netra yang sedang bersiap tampil di Musabaqah Hifzil Qur’an (MHQ) Internasional perdana di Jakarta. Mereka bukan hanya membawa hafalan 10, 20, bahkan 30 juz, tapi juga membawa cerita bagaimana teknologi jadi “tongkat Nabi Musa” yang membelah kesulitan jadi jalan lapang.
Dulu, mushaf braille cetak itu barang langka, saking langkanya, satu mushaf 30 juz bisa setinggi kulkas mini dan selebar kardus Indomie isi 40. Kalau mau baca, harus siap otot lengan, karena lembarannya tebal-tebal seperti bantal kursi ruang tamu. Belum lagi harganya bikin dompet menjerit, seperti beli sapi kurban tiap bulan.
Sekarang, dunia berubah, hadir mushaf braille digital dengan teknologi refreshable braille display, bentuknya ringkas, mirip tablet, huruf braille bisa muncul dan hilang sesuai ayat yang dipilih. Tidak perlu lagi lemari khusus, cukup satu perangkat.
Masalahnya, harga perangkat ini masih bisa bikin orang netra di desa hanya geleng-geleng kepala, katanya “digitalisasi Qur’an”, tapi kalau harganya lebih mahal dari motor bekas, ya tetap saja yang bisa menikmati hanya segelintir orang.
Selain mushaf braille digital, ada juga aplikasi Qur’an audio interaktif, para hafiz netra cukup buka ponsel, lalu dengan bantuan screen reader aplikasi membacakan ayat demi ayat. Bisa diulang berkali-kali tanpa takut gurunya ngambek. Bayangkan, satu HP bisa jadi guru ngaji paling sabar, yang tidak pernah bosan meski diminta mengulang ayat yang sama 50 kali.
Dulu hafalan Qur’an netra banyak bertumpu pada mendengar murattal kaset pita. Sekarang, tinggal buka YouTube atau aplikasi Ayat, iQuran, bahkan aplikasi lokal seperti Al-Qur’an Indonesia. Tinggal klik, setel, dan telinga jadi mesin rekam yang lebih canggih dari hard disk.
Ada juga teknologi smart pen Qur’an, bentuknya seperti pena digital, begitu disentuhkan ke mushaf khusus, langsung terdengar suara qari melantunkan ayat sesuai sentuhan. Cocok buat netra, anak-anak, bahkan bapak-bapak yang ngaji masih terbata-bata.
Kalau Doraemon punya “senter pengecil”, maka umat Islam punya “pena pembaca Qur’an”. Bedanya, ini bukan mainan, tapi alat serius yang bisa memudahkan jutaan orang.
Teknologi memang luar biasa, tapi pepatah bilang, “Sepur kenceng ora migunani yen ora ana relé,” kereta cepat percuma kalau relnya nggak sampai kampung, sama saja mushaf braille digital dan aplikasi Qur’an secanggih apa pun, kalau aksesnya hanya di kota besar.
Di Jakarta, santri netra bisa memakai komputer dengan screen reader, bisa mengakses tafsir digital, bahkan ada relawan yang bikin konten muraja’ah online. Tapi di pelosok, jangankan braille digital, mushaf braille cetak pun masih susah.
Mereka tetap mengaji dengan cara klasik, duduk di serambi mushola, mendengarkan guru ngaji, lalu mengulang hafalan seperti kaset pita diputar bolak-balik.
Coba bayangkan kalau Qur’an bisa “update versi” seperti WhatsApp. Mungkin para hafiz netra akan dapat notifikasi “Update baru, perbaikan bug di Surah Al-Baqarah, ayat 185, silakan refresh hafalan Anda”. Untungnya, wahyu sudah final. Jadi meski teknologi berubah tiap bulan, ayat suci tetap terjaga 14 abad tanpa error.
Jelasnya teknologi hanyalah alat, hafalan tetap hidup karena cinta dan kesungguhan, bukan karena RAM dan prosesor.
Di balik dagelan ini ada pesan serius: jangan sampai teknologi Qur’an hanya jadi etalase pameran, jangan sampai mushaf braille digital mahal-mahal dipamerkan di konferensi internasional, tapi tidak pernah sampai ke tangan santri netra di desa “Air hujan deras percuma kalau jatuhnya ke laut, bukan ke sawah,” begitu pepatah bilang, maka teknologi harus tepat sasaran, merata, dan ramah bagi semua kalangan.
Bayangkan kalau teknologi ini bisa dimanfaatkan lebih luas. Bukan hanya untuk lomba MHQ internasional, tapi juga untuk bapak-bapak netra yang ingin belajar ngaji di rumah, untuk ibu-ibu netra yang ingin menemani anaknya muraja’ah, atau untuk santri pelosok yang ingin jadi hafiz.
Akhirnya, kita belajar dari para hafiz netra ini cahaya Al-Qur’an tidak butuh mata untuk dilihat, tapi butuh hati untuk dijaga. Teknologi hanyalah lentera, yang seharusnya menerangi jalan, bukan sekadar lampu hias di etalase toko.
Jadi, ketika Jakarta menjadi tuan rumah MHQ internasional perdana bagi penyandang disabilitas netra, mari jangan hanya bangga karena acaranya megah. Mari pastikan mushaf braille digital, aplikasi Qur’an audio, dan smart pen benar-benar sampai ke mereka yang membutuhkan.
Karena kata pepatah, “Ilmu tanpa amal bagai pohon tanpa buah”, dan di era digital ini, teknologi tanpa akses merata hanyalah kemajuan tanpa makna.[***]