Tekno

“Mati Aja Didata, Hidup Gimana?, Palembang Bikin Inovasi Kematian Bikin Hidup Makin Sehat!”

ist

“LAH, jadi di Palembang itu sekarang orang mati pun harus “online”, bro…?” tanya tetanggaku yang biasa dipanggil sehari -hari bro.., sembari nyapu teras rumahnya yang kotor karena daun runtuh akibat ditiup angin..

Saya spontan menjawabnya santai, “Lah iyo,  makmano kau ni bro, nah, punya HP cuma untuk main TikTok bae..” bukan digunakan untuk berliterasi cari info-info penting” jelasku dengan bahaso wong kito [bahasa Palembang].

Sekarang itu mati aja didata digital, apalagi  orang hidup” harusnya gitu teknologi harus dimanfaatkan. Si bro melotot, “Serem nian. jangan-jangan kagek kalo aku batuk bae biso langsung muncul notifikasi di HP dengan kato-kato  “Anda terdeteksi potensi ajal mendekat!”.

Secara spontan, kami berdua akhirnya ngakak bareng, tapi serius, ini bukan lelucon, Pemerintah Kota Palembang lewat Dinas Kesehatan dan Kominfo baru aja dapet Gold Award di ajang Indonesia Healthcare Innovation Awards (IHIA) 2025.
Bukan karena mereka bikin aplikasi buat “manggil arwah”, namun karena mereka punya Mortality Data System (MDS), yakni sistem yang ngedata penyebab kematian secara real-time.

Kalau dipikir-pikir ya, ini kayak pepatah lama lho! “Dari kubur pun bisa memberi pelajaran”, si bro …jadi ngakak kembali…
Lewat MDS ini disebutkan, setiap kali ada orang meninggal di rumah sakit, data penyebab kematiannya langsung dicatat digital.
Bisa dibilang, MDS ini kayak malaikat pencatat amal, tapi versi Dinas Kesehatan, bedanya ini yang mencatatnya dokter dan petugas IT.

Jadi pemerintah bisa tahu, misal, bulan ini banyak meninggal, karena jantung, bulan depan karena DBD, dan seterusnya. Namun
dari situ bisa disusun strategi, obatnya apa, kampanyenya gimana, dan anggarannya mau lari ke mana.

Keren kan bahasanya?, kalau dulu kita baru heboh setelah banyak yang tewas karena satu penyakit, sekarang Pemkot Palembang bisa ngintip tren kematian duluan. hahaha, ada-ada aja…

Bahkan kayak admin e-commerce yang tahu produk mana paling laku, tapi ini versinya kesehatan  dengan  penyakit mana paling sering bikin orang berpulang.

“Berarti, kata si bro kepada saya sambil nyulut rokok, “kalo MDS ini aktif, orang meninggal nggak bisa ngibul lagi ya?… gak bisa bilang meninggal karena “takdir’ aja?”.

Aku pun ketawa, “iya bro…, sekarang takdir pun kudu ada datanya., mau mati gara-gara kolesterol, jantung, atau overthinking  digigit karena cicilan, atau digigit semut pun semua ada kolomnya”.

Tiba-tiba, Pak RT lewat. “Heh kalian berdua, ngomongin mati siang-siang, bikin orang ngeri makan siang!” katanya.
Saya jawab, “Tenang, Pak bos RT, ini bukan bahas kematian, ini bahas inovasi buat hidup lebih lama”
Pak RT nyengir, “Oh… jadi ini kayak vaksin buat yang udah telat disuntik?”
Kami ngakak lagi.

Serius nih, di Indonesia selama ini, data kematian tuh sering simpang siur, kadang angka dari rumah sakit beda sama data kelurahan, bahkan data di papan tulis aja dari tahun  ke tahun di itu gak pernah berubah-ubah setiap tahun hanya itu aja, padahal dalam setahun itu ada orang yang pindah ke luar kota ada pula yang meninggal.

Dan, ada yang meninggal di rumah tapi nggak tercatat, atau meninggalnya karena apa, nggak jelas.
Nah, MDS ini hadir buat merapikan itu. Coba pikirkan, Palembang bisa tahu kenapa warganya meninggal, lalu bikin kebijakan buat mencegah hal yang sama.

Kalau bulan ini banyak yang meninggal gara-gara jantung, berarti makan minyak jelantah mesti dikurangi, kalau gara-gara DBD, berarti got harus dikuras, bukan disemprot postingan Facebook.

Coba kita bisa bandingkan dengan Kota-Kota lainnya, Palembang ini udah melesat, di Surabaya punya e-health buat rawat pasien hidup, tapi belum nyentuh dunia arwah. Jakarta punya JakSehat, keren kan, namanya,  tapi datanya masih fokus ke vaksinasi dan antrean rumah sakit.

Selain itu. Kota Kembang alias Paris Van Java – Bandung, punya program Smart Health, tapi ya itu… baru sampai di cek tekanan darah via aplikasi jadi belum sampai fase cek penyebab meninggal via dashboard.

Sementara Palembang? langsung lompat ke dunia kematian digital bro… keren nggak karena dari orang hidup sampai  mati, semua terdata.

Nah, kalau di luar negeri sudah canggih, bisa jadi contoh, seperti Singapura, negara tetangga Batam ini, pakai National Death Registry, bisa tahu pola penyakit warga sampai ke blok rumah.

Korea Selatan juga bisa tahu penyebab kematian sekaligus rekomendasi gaya hidup buat yang masih hidup sedangkan Finlandia bahkan ngaitin data kematian dengan pola makan nasional, wah..

Apalagi negeri Sakura – Jepang lebih canggih lagi?, pasalnya data kematian mereka bisa nyebut “orang ini meninggal karena kerja kebanyakan” alias karoshi alert level, maksimal. hehehe..

Jadi Palembang ini udah satu barisan sama kota-kota maju, cuma bedanya di sana yang ngelola sistemnya pakai jas putih, di Palembang kadang masih pakai baju koko abis Jumatan, tapi semangatnya sama menyelamatkan nyawa lewat data.

Cerita di balik inovasi

Kata Kepala Dinas Kesehatan, Fenty Aprina, aplikasi ini hasil kolaborasi bareng Dinas Kominfo, alasanya begini karena yang satu paham penyakit, yang satu paham jaringan.

Coba bayangin aja, Dinkes ngomong, “Kita harus tahu penyebab kematian!”
Kominfo jawab, “Bisa, asal sinyalnya kuat”
Begitu pula ketemu, jadilah Mortality Data System.
Kolaborasi maut  dalam arti harfiah dan teknologis.

Dan hasilnya? gini ya…puluhan Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, bahkan Bidan praktik mandiri di Palembang sekarang pakai sistem ini.
Kalau ada pasien meninggal, langsung dientry penyebabnya, dan otomatis keluar surat keterangan kematian digital.
Cepat, akurat, dan kalau boleh jujur lebih sopan daripada nunggu surat manual sambil keluarga masih nangis.

Sebenarnya, sistem ini ngajarin kita hal penting yakni mati pun masih bisa bermanfaat, kalau dulu pepatah bilang, “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Sekarang versi Palembang “Manusia mati meninggalkan data”

Oleh karena itu, data sebenarnya sangat berguna buat yang masih hidup.
Kayak kalau kita tahu penyebab kematian paling banyak adalah hipertensi, maka Pemkot bisa gencar kampanye anti-garam.
Kalau ternyata banyak meninggal gara-gara nunda berobat karena takut biaya, maka itu sinyal buat perbaiki sistem BPJS dan layanan publik.

Jadi, setiap data kematian adalah semacam “surat cinta terakhir” dari yang sudah pergi, buat yang masih hidup, “Belajarlah dari aku, jangan mati karena hal yang sama”.

Biar kita gak ngerasa ketinggalan, coba kita lihat dunia lagi untuk jadi kaca mata, seperti Finlandia, data kematian dipakai buat mengatur konsumsi susu dan keju Nasional. Jadi kalau banyak yang mati karena kolesterol, esok harinya langsung keluar iklan “Kurangi keju, perbanyak jalan kaki”.

Di Australia, pemerintah bisa tahu tren flu dari angka kematian kucing!, karena katanya, kalau banyak kucing mati, itu tanda virus sedang mutasi. Nah, Palembang mungkin belum ke situ, tapi siapa tahu nanti MDS bisa deteksi tren pilek dari jumlah warga yang beli obat batuk di warung.

Jepang, mereka bahkan punya sistem yang bisa memprediksi “pekerjaan yang bikin cepat mati”, makanya banyak kantor di sana suruh pegawainya pulang sebelum jam 8 malam.

Korea Selatan juga, pemerintah bisa tahu kecamatan mana yang paling rentan meninggal karena stres. Nah, kalau di Palembang, mungkin nanti bisa tahu daerah mana paling banyak yang meninggal gara-gara ngantre BBM.

Oleh karena itu, kalau debat politik itu, jangan  lupa data kesehatan.
Padahal, angka kematian itu bicara jujur, kalau banyak yang mati karena hipertensi, itu bukan karena nasib, tapi karena gorengan lima biji tiap sore.

Kalau banyak yang meninggal, karena kecelakaan motor, itu bukan karena jalan sempit, tapi karena ego lebih lebar dari aspal.

MDS ini ibarat cermin besar, nggak bisa disuap, nggak bisa disensor, dan nggak bisa disalahin. Dia cuma nyodorin fakta yakni siapa meninggal, kenapa, dan apa yang bisa diperbaiki.

Inovasi ini bisa ditiru daerah lain, bayangin kalau semua kota di Indonesia punya sistem kayak gini, mungkin penyakit nggak sempat naik daun. Stunting bisa ditangani lebih cepat, penyakit jantung nggak sampai panen korban, dan DBD nggak perlu nunggu trending dulu baru ditangani.

Jadi, dari Palembang-lah semangatnya muncul mati satu, data bertumbuh. Maka dari itu, MDS bukan cuma soal aplikasi. Ini soal cara berpikir baru bahwa kematian bukan akhir, tapi awal dari pengetahuan.
Dari mereka yang sudah pergi, kita belajar bagaimana hidup lebih lama dan lebih baik.

Dan di tengah semua kelucuan dan dagelan ini, ada pesan serius kota yang bisa mencatat kematian dengan jujur, pasti bisa menyelamatkan kehidupan dengan cerdas.

Kalau kota lain sibuk bikin smart city, Palembang bikin smart afterlife management system.
Lucu tapi nyata, karena di kota ini, bahkan kematian pun tak luput dari digitalisasi.

Jadi buat warga Palembang, jangan takut sama MDS.
Dia bukan malaikat pencabut nyawa, dia cuma ‘notulen kehidupan’
Dan seperti kata pepatah baru “Siapa yang mencatat kematian dengan baik, dia sedang menulis masa depan kehidupan”.[***]

Terpopuler

To Top