DI TENGAH gegap gempita dunia digital, kita sering dibuai oleh cerita-cerita robot yang bisa bicara, mobil yang bisa nyetir sendiri, atau aplikasi yang tahu apa yang kita mau sebelum kita ngomong. Padahal teknologi makin canggih, sudah barang tentu logikanya makin rapi, tapi pernah nggak kita tanya, apakah semua itu benar-benar membuat hidup manusia lebih baik? atau cuma bikin kita makin tergantung sama layar dan notifikasi?
Oleh karena itu, di sinilah perempuan muncul sebagai penyelamat masa depan digital yang manusiawi, bahkan Mira Tayyiba, Dirjen Teknologi Pemerintah Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam rilis dilaman resmi komdigi baru baru ini menekankan satu hal yang sederhana tapi dalam “Masa depan kita membutuhkan perpaduan yang seimbang antara logika dan empati, antara teknologi dan kemanusiaan”.
Kalau teknologi itu sebilah pisau, perempuan adalah tangan yang bijak, tanpa arah yang tepat, pisau bisa memotong roti dengan sempurna, tapi juga bisa nyabet jari. Begitu pula AI atau platform digital, canggih, tapi kalau tidak diarahkan dengan hati, bisa bikin manusia tersakiti atau tersesat. Perempuan dengan kombinasi STEM (Sains, Teknologi, Rekayasa, Matematika) dan empati punya peran strategis, yakni menciptakan sekaligus mengarahkan teknologi agar manfaatnya nyata dan manusiawi.
Contoh nyata? pengembangan AI untuk edukasi, tim yang beragam gender cenderung lebih peka terhadap perbedaan cara belajar siswa, sehingga AI bisa menyesuaikan materi dengan kebutuhan masing-masing. Tim yang homogen, mungkin sistemnya canggih, tapi kurang memperhatikan aspek emosional atau motivasi belajar anak.
Layanan publik berbasis aplikasi pun sama, tim yang seimbang gendernya biasanya lebih sadar bahwa desain yang ramah dan inklusif bukan sekadar estetika, tapi menentukan siapa yang bisa mengakses layanan tersebut.
Faktanya, perempuan menempati 42% tenaga kerja dunia, tapi cuma 25% yang sampai posisi pimpinan, banyak potensi hebat yang belum tersalurkan, seperti pepatah bilang, “Air tenang menghanyutkan”, banyak perempuan cerdas dan penuh ide yang diam-diam bisa mengguncang dunia digital, jika diberi ruang.
Di Indonesia, pemerintah sudah membuka jalan itu, program Digital Talent Scholarship, MSMEs Level Up, dan berbagai inisiatif literasi digital memberi perempuan peluang bukan hanya menjadi pengguna teknologi, tapi menjadi pencipta dan pengarah masa depan digital. “Perempuan makin cakap digital akan menjadi penggerak perubahan,” ujar Mira.
Bukan sekadar klik dan scroll, tapi coding, mengembangkan aplikasi, dan memimpin tim inovasi, coba pikirkan, seorang mahasiswi yang awalnya ikut kursus coding hanya untuk hiburan, setelah mendapat pelatihan, dia mampu membuat aplikasi edukasi yang membantu ribuan anak di desa belajar matematika lewat game interaktif. Kalau dunia digital cuma dilihat sebagai urusan logika tanpa hati, ide kreatif seperti itu mungkin tak akan lahir sehingga perempuan dengan empati dan STEM membuka pintu kreativitas yang sekaligus menyentuh manusia.
Oleh sebab itu, makanya, teknologi tanpa kemanusiaan ibarat sayur tanpa garam, bisa dimakan, tapi hambar, masa depan digital yang cerdas bukan hanya soal algoritma atau AI, tapi juga soal bagaimana manusia menempatkan dirinya sebagai pusat inovas, keseimbangan logika dan empati bukan sekadar teori, tapi kunci agar inovasi digital berdampak positif bagi masyarakat luas.
Jika perempuan diberdayakan secara bermakna dalam dunia digital, efeknya tak hanya pada individu atau perusahaan, PDB per kapita global diperkirakan bisa naik 20%, dan ekonomi dunia berpotensi tumbuh 5 triliun dolar AS lebih besar. Jadi, memperjuangkan kesetaraan bukan hanya soal keadilan, tapi soal kemajuan bersama, adalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan.
Kita bisa bayangkan teknologi seperti kereta cepat, karena tanpa perempuan di posisi strategis, di desain, pengawasan, maupun pengembangan, kereta itu mungkin cepat, tapi bisa menabrak stasiun kehidupan manusia yang seharusnya dilayani. Dengan demikian, jika perempuan di posisi itu, tentunya kereta digital bisa melaju kencang, tapi tetap aman, nyaman, dan menyenangkan untuk semua.
Pada akhirnya masa depan digital itu, bukan soal teknologi canggih atau robot yang bisa berpikir sendiri, tapi soal manusia yang mampu mengarahkan teknologi menjadi alat kebaikan. Perempuan, dengan keahlian STEM dan empati, menjadi kunci, agar teknologi tidak hanya pintar, tapi juga manusiawi, seperti pepatah lama “Banyak jalan menuju Roma, tapi yang terbaik adalah jalan yang dilalui bersama” bahkan dunia digital pun demikian, lebih bermakna bila perempuan ikut melangkah bersama.[***]