ADA pepatah lama “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.” Nah, di Indonesia pepatah itu sering kebalik pohonnya banyak, buahnya entah kemana, yang nongol malah laporan setebal bantal hotel melati. Beginilah nasib sebagian besar riset di kampus kita berakhir sebagai skripsi yang dipajang di perpustakaan, hanya dibaca dosen penguji dan cicak yang lewat di rak buku.
Padahal, seperti ditegaskan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, riset itu bukan beban biaya. Ia investasi. Bukan investasi ala saham gorengan yang bikin jantung berdegup tiap buka aplikasi trading, tapi investasi masa depan bangsa. Kalau dikerjakan serius, riset bisa jadi motor pertumbuhan ekonomi, bahkan jalan tol inovasi dari kampus ke industri.
Sudah waktunya kampus kita tidak lagi hanya jadi “pabrik toga”. Bayangkan, setiap tahun ribuan mahasiswa berbaris rapi di acara wisuda, senyumnya lebar, tapi inovasi yang lahir dari ruang kuliah masih kalah cepat dibanding kecepatan warung kopi meluncurkan menu baru. Universitas berbasis riset seharusnya jadi “pabrik inovasi”, bukan cuma pabrik ijazah.
Tengok Amerika, MIT (Massachusetts Institute of Technology) sering dijuluki “pabrik startup”. Dari garasi kecil mahasiswa sampai kantor raksasa teknologi dunia, jejaknya panjang. Begitu juga Stanford, yang konon jadi bidan lahirnya Silicon Valley. Kenapa bisa begitu? Karena kampus dan industri di sana mesra bak pasangan pengantin baru. Riset mahasiswa tidak berhenti di meja laboratorium, tapi langsung diangkut ke pasar.
Indonesia harus belajar dari sana, kita punya bahan mentah yang melimpah: rumput laut, nilam, kopi, nikel, bahkan ide-ide brilian anak muda yang lebih cepat viral daripada gosip artis. Tapi tanpa jembatan riset, semua itu hanya jadi potensi tidur.
Jika boleh jujur sebentar, banyak riset kita nasibnya seperti nasi kotak seminar, sudah capek-capek dimasak, dikemas rapi, lalu ditinggalkan di meja, dingin tak tersentuh. Pemerintah, kampus, dan industri sering jalan sendiri-sendiri. Padahal kalau mau, kolaborasi bisa bikin riset kita harum baunya, bukan basi di gudang.
Ambil contoh Korea Selatan, mereka dulu dikenal sebagai negara miskin yang bahkan kalah jauh dari Indonesia tahun 60-an. Tapi mereka nekat mengubah kampus jadi dapur inovasi. Hasilnya? lahir Samsung, Hyundai, LG, nama-nama yang sekarang bikin dunia menunduk, bukan karena mereka tiba-tiba jenius, tapi karena ada kolaborasi yang nyata antara pemerintah, kampus, dan industri.
Kita? jangan-jangan masih sibuk berdebat siapa yang lebih penting, teori atau praktik. Padahal jawabannya jelas tanpa keduanya, riset ibarat motor tanpa bensin bunyi klaksonnya doang yang keras, tapi rodanya tak jalan.
Kalau riset ingin jadi motor ekonomi, maka jalan tol yang menghubungkannya adalah kolaborasi kampus dan industri. Stella Christie sudah bilang, “Universitas berbasis riset” itu bukan jargon, tapi kebutuhan mendesak. Jangan sampai mahasiswa riset daun nilam tapi akhirnya lulus jadi admin Excel di kantor kelurahan.
Bayangkan kalau kampus di Aceh benar-benar mengembangkan riset nilam untuk parfum dunia. Atau universitas di Sulawesi serius mengolah rumput laut jadi bahan baku kosmetik, obat, bahkan plastik ramah lingkungan. Kita tidak cuma menjual rumput laut mentah, tapi menjual inovasi berlipat nilai. Itu baru namanya dagang cerdas, tidak hanya jual ikan, tapi juga jual resep sushinya.
Dan di sinilah industri swasta bisa masuk, kalau pabrikan rokok seperti Sampoerna saja mau ikut jadi sponsor acara riset, masa industri lain pura-pura pusing? Jangan sampai riset bangsa ini cuma diselamatkan oleh asap tembakau, sementara pabrik lain hanya sibuk pasang iklan di televisi.
Konsep Universitas berbasis riset juga sebenarnya mengajak kita untuk mendekatkan rakyat dengan ilmu pengetahuan. Petani nilam, nelayan rumput laut, hingga pelaku UMKM bisa menikmati hasil riset jika jalannya dibuka. Jangan sampai riset hanya jadi bahasa asing di jurnal, yang sulit dimengerti bahkan oleh mahasiswa semester akhir.
Kalau jalan tol inovasi ini bisa dibangun, riset bukan hanya menghasilkan paten, tapi juga lapangan kerja, seandainya ribuan anak muda bekerja di pabrik inovasi lokal, bukan antre tiket konser boyband di GBK.
Ada pepatah Jawa “Jer basuki mawa bea”, segala keberhasilan butuh biaya. Nah, riset memang butuh dana, tapi jangan salah, dana riset itu bukan hilang seperti uang parkir di mall, ia kembali dalam bentuk kesejahteraan.
Indonesia harus berani memilih jalan, apakah tetap jadi bangsa penonton inovasi dunia, atau jadi pemain utama. Kalau Amerika bisa dengan MIT dan Stanford, kalau Korea bisa dengan Samsung, kenapa kita tidak bisa dengan universitas berbasis riset dan kolaborasi industri?
Jangan sampai kita cuma jadi bangsa yang pintar bikin seminar dengan banner segede gaban bertuliskan “Inovasi untuk Negeri”, tapi risetnya tetap mandek. Saatnya riset kita jadi kendaraan utama, dan kolaborasi kampus-industri jadi jalan tol yang mulus. Kalau tidak, kita hanya akan terus macet di perempatan wacana.[***]