Sumselterkini.co.id, – Kecerdasan Artifisial (AI) yang dulunya dianggap sebagai pencerah masa depan, kini mulai berubah wujud jadi sosok ‘mantan’ dulu bikin bahagia, sekarang bikin was-was. Bayangkan, teknologi yang awalnya dipakai buat bantu manusia belajar, bekerja, dan berkreasi, kini malah dipakai buat nipu, nyamar, bahkan ngambil uang orang. Ngeri-ngeri sedap.
Indonesia bukan satu-satunya yang mulai kelimpungan menghadapi si AI tukang nyamar ini. Di luar negeri, kasus-kasus penipuan berbasis AI sudah mulai bikin kepala aparat keamanan berasap dan pelipis warga mendadak berdenyut.
Sebut saja Amerika Serikat. Tahun lalu, FBI mengeluarkan peringatan resmi soal deepfake scams alias penipuan dengan video palsu berbasis AI. Ada kasus di mana suara bos perusahaan dipalsukan, lalu digunakan untuk menipu staf keuangan agar mentransfer dana miliaran rupiah. Iya, suara bosnya. Bukan cuma disalin gaya bicaranya, tapi juga logat dan intonasinya. Pokoknya kalau dengar, kita bakal bersumpah itu memang si Pak Bos lagi minta urgent transfer!
Di Inggris, seorang ibu tertipu karena menerima rekaman suara putrinya yang menangis minta uang tebusan. Ternyata? Itu suara AI hasil nyolong data dari media sosial. Uangnya melayang, putrinya sehat-sehat aja lagi nonton Netflix.
Nah, di tanah air, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, sudah angkat suara. Beliau menyebut bahwa AI saat ini sudah bisa bikin video dan foto palsu yang nyaris sempurna. Saking sempurnanya, bukan cuma orang awam yang bisa terkecoh, tapi para ahli pun bisa kecele. Dan celakanya, bukan cuma wajah dan suara yang bisa dipalsukan bukti transfer pun bisa dicetak semirip mungkin, lengkap dengan hologram segala.
Ini bukan lagi soal teknologi canggih, tapi tentang teknologi yang disalahgunakan. Dan kalau kita semua lengah, bisa-bisa dompet kita kempes, rekening boncos, dan harga diri ikut tercuri.
Regulasi? Sudah mulai dibangun. Ada Surat Edaran Etika AI, Undang-Undang ITE, UU PDP, KUHP, hingga UU Hak Cipta. Tapi Nezar Patria sendiri sadar perkembangan teknologi jauh lebih cepat dari birokrasi ketok palu. Ibarat orang balapan, AI udah ngebut naik motor ninja, sementara regulasi baru lepas sandal jepit.
Karena itu, pemerintah kini sedang menyusun roadmap alias peta jalan pengembangan AI. Harapannya, supaya teknologi ini tetap jadi kawan, bukan berubah jadi kawanan penjahat dunia maya.
Tapi mari kita jujur bukan cuma soal regulasi. Soal penipuan AI ini juga tentang literasi. Kita sebagai pengguna teknologi harus melek, bukan malah telentang. Jangan gampang percaya dengan video, foto, atau suara yang dikirim random, apalagi yang minta duit. Zaman sekarang, yang kita lihat belum tentu nyata, dan yang terdengar belum tentu dari yang bersangkutan.
Jadi, bagaimana kita bersikap? Pertama, jangan terlalu percaya pada apa yang viral. Kedua, verifikasi sebelum transfer. Ketiga, jangan malas baca berita atau belajar tentang modus baru.
Karena kalau kita lengah, bisa-bisa besok ada video “kita” ngaku-ngaku minta pinjaman online. Padahal kita lagi rebahan sambil makan ciki.
Teknologi AI itu ibarat pisau bisa dipakai untuk masak rendang, tapi bisa juga buat nyilet dompet orang. Pilihan ada di tangan kita mau jadi pengguna yang cerdas, atau korban yang ceroboh.
Maka mari kita sepakat AI harus dikendalikan, bukan dibiarkan. Etika digital harus ditegakkan, bukan cuma di atas kertas. Dan kita, rakyat dunia maya, harus tetap waras di tengah banjir konten palsu. Kalau tidak, ya siap-siap saja ditipu oleh robot yang bisa ngomong lebih manis dari mantan.[***]
