DULU guru identik dengan kapur tulis, papan hijau, dan bunyi penghapus yang “ngebul” kayak mesin pabrik roti, kini wajah pendidikan di Sumatera Selatan berubah total. Coba pikirkan, 12.003 guru dari SD sampai SMA/SMK serentak ikut pelatihan kecerdasan buatan (AI). Bukan main!. Bahkan, saking hebohnya, kegiatan ini resmi tercatat di Guinness World Records, jadi bukan hanya rekor lemper terpanjang atau dangdut marathon terlama yang masuk buku dunia, tapi sekarang giliran guru Sumsel yang bikin sejarah digital.
Coba bayangkan guru-guru yang biasanya sibuk nyari kapur, sekarang sibuk nyari tombol login meeting. Ada yang bilang, dulu bingung ngadepin murid, sekarang malah bingung ngobrol sama AI. Eh… tapi bukankah pepatah mengatakan, “tak kenal maka tak sayang”? Nah, setelah kenal AI, ternyata banyak guru jatuh cinta. AI bisa jadi teman diskusi, bisa jadi tukang bantu bikin soal, bahkan bisa jadi asisten dadakan yang nggak pernah minta THR.
Begini kalau dulu murid suka ngeles dengan PR yang nggak kelar, Pak, kemarin mati lampu, sekarang bisa jadi lain ceritanya, “Pak, PR saya kalah pinter sama ChatGPT”. Waduh!, dunia memang berubah, dan guru harus lebih sigap daripada murid kalau nggak mau keduluan.
Kalau biasanya inovasi pendidikan lahir dari ibukota, kali ini justru dari daerah, Sumatera Selatan tampil sebagai pelopor pendidikan digital di Indonesia, provinsi lain mungkin masih sibuk ribut soal kurikulum merdeka atau zonasi, Sumsel malah melompat langsung ke kelas dunia.
Inilah analisa pentingnya, ketika guru diajari AI, sebenarnya bukan cuma guru yang naik kelas, tapi juga murid dan masa depan daerah. Guru melek AI sama dengan murid siap digital sama dengan SDM unggul sama dengan investasi masuk. Rumus sederhananya, satu klik di laptop guru hari ini bisa jadi seribu peluang kerja besok.
Tapi mari kita kasih catatan kecil, jangan sampai pelatihan ini hanya jadi festival seremonial sekali pakai, kayak pesta kembang api yang heboh sesaat lalu redup.
Guru perlu pendampingan berkelanjutan, akses internet stabil, dan perangkat memadai. Pepatah bilang, “air tenang jangan disangka tiada buaya”. Begitupula AI, kalau tidak dipandu, bisa jadi bumerang, jangan sampai murid lebih percaya jawaban AI ketimbang bimbingan guru.
Nah, di sini pemerintah perlu konsisten. Jangan cuma semangat waktu difoto Guinness World Records, tapi setelah itu guru ditinggal berjuang sendirian dengan sinyal 2G di desa.
Banyak yang takut AI bakal mengganti guru, padahal, AI hanyalah alat, sama seperti kalkulator tidak pernah menggantikan guru matematika. AI ibarat pisau dapur di tangan chef, jadi karya masakan, di tangan yang salah, bisa bikin masalah. Guru tetap punya hati, rasa, dan budi pekerti yang tidak bisa diprogram.
Jadi pesan moralnya, AI jangan ditakuti, tapi harus ditaklukkan. Guru bukan digeser AI, justru guru lah yang mengajari murid bagaimana menggunakan AI dengan bijak.
Sejarah sudah tercatat, Sumsel berhasil menunjukkan bahwa daerah bukan hanya penonton revolusi teknologi, tapi bisa jadi pemain utama. Dari kapur tulis hingga AI, perjalanan guru adalah bukti pepatah lama, “hidup adalah belajar, belajar adalah hidup”
Semoga rekor dunia ini bukan puncak, tapi awal, awal dari lahirnya generasi cerdas, bukan hanya cerdas akademis, tapi juga cerdas digital, cerdas moral, dan cerdas menghadapi tantangan zaman.
Dari Palembang ke dunia, guru-guru Sumsel sudah memberi teladan, belajar tak mengenal batas, bahkan sampai Guinness World Records pun bisa ditembus.[***]