APAKAH Digital ID berbasis biometrik bisa jadi solusi atas Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor seluler yang sudah bocor ke mana-mana?. Pertanyaan ini bukan cuma soal teknis, tapi sudah menyangkut harga diri bangsa, karena kalau data kita udah bocor kayak air galon tumpah di jalan berlubang, ya.. habis sudah. Dalam pertemuan di Kantor Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bersama Wamen Nezar Patria, kemarin, para praktisi internet Indonesia datang bukan buat sekadar numpang ngopi, tapi menyodorkan keresahan bangsa bahwa masa depan digital Indonesia jangan dibiarkan ngambang kayak sinyal WiFi tetangga.
Dalam dunia digital yang makin gesit, NIK dan nomor HP yang dulu jadi senjata utama untuk login, sekarang malah jadi titik lemah. Bocornya kredensial ini ibarat kunci kamar kos yang jatuh ke tangan mantan tiap saat bisa dipakai buat masuk dan mengacak-acak privasi. Nah, hadirlah ide Digital ID berbasis biometrik. Wajah, sidik jari, bahkan detak jantung bisa jadi identitas baru yang (katanya) lebih aman. Tapi pertanyaannya teknologi ini bakal memberantas kejahatan digital, atau malah jadi ladang baru buat yang doyan ngutak-atik data?
Pertemuan itu semacam reuni akbar para “pawang digital”, dari Sylvia Sumarlin yang kayaknya udah bisa deteksi sinyal lemah pakai insting, sampai Ashwin Sasongko yang sudah kenyang makan asam garam regulasi internet. Mereka bukan sekadar diskusi sambil ngopi, mereka memperdebatkan masa depan negeri. Salah satunya, soal perlunya kanal komunikasi terbuka yang bisa diakses publik buat ngasih masukan. Karena selama ini, nasib netizen kayak penumpang KRL tanpa speaker, pingin protes tapi suaranya kedengeran cuma di dalam kepala.
Setelah BRTI dibubarkan lewat Perpres 112 Tahun 2020, fungsi konsolidasi itu memang kayak nasi goreng tanpa kecap hidup, tapi hambar. Bayangkan kamu punya ide jenius soal tata kelola internet, tapi nggak ada tempat nyampainya. Ya, akhirnya kamu cuma bisa curhat di Twitter, eh, X yang ironisnya, malah datanya juga dikuras sama AI. Maka dari itu, dibutuhkan semacam ‘Baleho Digital Nasional’, tempat rakyat bisa sumbang saran, kritik, bahkan ide ngawur yang kadang bisa jadi solusi ajaib.
Diskusi juga melebar ke pentingnya kompetisi teknologi buat anak muda, karena sekarang ini, prestasi pemuda sering kali mentok di ajang rebutan stiker WhatsApp, padahal potensi mereka bisa tembus orbit Mars. Pemerintah didorong kasih dukungan riil, bukan cuma potong pita saat lomba robotik, tapi juga alokasi anggaran, pelatihan, hingga market akses, biar startup gak mati muda kayak tanaman hidroponik yang lupa disiram.
Salah satu yang juga nyempil di pembahasan adalah soal pengelolaan DNS dan IP Address, kedengarannya memang teknis banget, kayak resep opor ayam dari nenek buyut, tapi ini soal kedaulatan digital. Kalau DNS kita masih numpang sama negara lain, itu ibarat rumah punya kita tapi kuncinya dipegang tetangga. Penyatuan regulasi dalam hal ini penting biar kita nggak cuma jadi netizen yang doyan scroll, tapi juga pemilik sah dari infrastruktur digital kita sendiri.
Dalam konteks global, Indonesia disarankan buat tampil bukan sekadar figuran yang cuma bilang “yes” di forum internasional macam Internet Governance Forum (IGF). Kita harus jadi aktor utama, minimal pemeran pembantu yang banyak dialog. Apalagi dalam urusan kecerdasan artifisial (AI), yang sudah mulai ganggu sektor kerja, pendidikan, bahkan percintaan (karena makin banyak orang curhat ke chatbot daripada ke pasangannya). Wamen bilang, draft regulasi AI sudah disiapkan, dan akan melibatkan publik. Ini penting, biar AI kita nggak jadi Frankenstein digital yang nyusahin rakyat sendiri.
Harus jeli
Wamen Nezar Patria, dalam nada diplomatis yang tetap nyantai, bilang bahwa regulasi ke depan bakal fleksibel, berbasis nilai, tapi tetap menomorsatukan etika dan keamanan. Ini seperti bikin martabak isinya boleh macam-macam, tapi jangan lupakan adonan dasarnya. Negara harus jeli jangan sampai dalam semangat mengejar inovasi, kita malah membuka celah buat kejahatan digital berkembang lebih cepat daripada undang-undang yang mengaturnya.
Lalu, kenapa sih negara ini selalu kedodoran urusan regulasi digital? Salah satu alasannya, kata Wamen, adalah soal geopolitik dan… anggaran. Iya, anggaran riset kita kadang kalah dari dana buat beli seragam rapat. Di tengah persaingan global, Indonesia kudu gesit. Bayangkan dunia ini sebagai pasar malam teknologi, kalau kita cuma datang sebagai pembeli, ya… pulangnya cuma bawa balon. Tapi kalau kita datang sebagai pedagang dengan teknologi, talenta, dan kebijakan matang kita bisa balik dengan lapak sendiri, bahkan franchise.
Sebagai perbandingan, beberapa negara udah lebih dulu pasang rem tangan dan gas secara bersamaan alias menjaga inovasi jalan, tapi tetap dikawal regulasi yang cakep. Ambil contohnya Estonia, negara kecil tapi digitalnya udah kayak tokopedia versi negara. Mereka punya sistem e-Residency dan Digital ID nasional yang bikin ngurus pajak, nikah, sampai bikin startup bisa lewat HP. Penduduknya bisa milih pemimpin lewat internet, sementara kita kadang masih rebutan TPS cuma buat ambil gorengan gratis.
Lalu ada India, lewat program Aadhaar Digital ID berbasis biometrik terbesar di dunia, udah berhasil mengintegrasikan layanan sosial, perbankan, dan subsidi pemerintah. Meski sempat dikritik soal privasi, India terus berbenah sambil jalan. Setidaknya mereka udah punya jalan, meski kadang masih banyak polisi tidur di tengahnya.
Satu lagi, Singapura, tetangga sebelah yang udah kayak abang parkir pintar. Lewat Singpass, mereka bikin identitas digital warganya bisa dipakai untuk ngurus 2.000 lebih layanan, mulai dari setor pajak sampai pesan kembang buat ulang tahun mertua. Bahkan, pemerintahnya juga bikin sandbox regulasi untuk uji coba teknologi baru tanpa nabrak undang-undang lama. Di sana, inovasi jalan, hukum pun tetap tegas. Ibaratnya bisa naik hoverboard, tapi tetap pakai helm dan SIM.
Nah, semua ini sebenarnya berujung pada satu hal trust alias kepercayaan. Digital ID bukan sekadar teknologi biometrik, tapi fondasi buat membangun kepercayaan di dunia maya. Tanpa itu, kita akan terus dibohongi pinjol ilegal, dibujuk rayu judi online, dan diganggu spam yang ngajak nikah. Sudah saatnya ruang digital kita dibersihkan dari manipulasi, dan itu dimulai dari identitas yang kuat, regulasi yang jelas, serta partisipasi publik yang luas. Karena seperti kata pepatah digital “Kalau datamu aman, hidupmu nyaman. Kalau datamu bocor, tidur pun tak nyenyak walau AC-nya dingin.”
Jadi, apa pelajaran dari pertemuan 90 menit di Kantor Komdigi itu? Bahwa dunia digital bukan sekadar urusan sinyal kencang atau ganti password tiap minggu. Ini soal masa depan bangsa, di mana identitas kita harus kuat, regulasi kita harus tajam, dan inovasi kita harus dibarengi nilai dan etika. Kalau pemerintah dan rakyat bisa duduk bareng kayak tadi, bukan mustahil kita bisa jadi raja di negeri digital sendiri. Ingat, bangsa yang besar bukan cuma yang punya banyak followers, tapi yang datanya aman dan identitasnya tak bisa diganggu gugat. Jadi yuk, mulai sekarang, lindungi data, dukung Digital ID, dan jangan mau lagi ditipu pinjol yang ngaku-ngaku jodoh.[***]