DI MUBA, kata “perubahan” sudah sering mampir di telinga warga, mulai dari spanduk, baliho, pidato resmi, sampai obrolan di warung kopi, semua bisa membicarakannya. Masalahnya, kadang “perubahan” itu hanya berhenti di papan reklame, seperti papan menu di rumah makan Padang banyak pilihan, tapi yang keluar dari dapur belum tentu sesuai gambar.
Perubahan sejati itu bukan sekadar kata benda yang manis diucapkan, tapi kata kerja yang bergerak, menendang, dan terasa di kehidupan sehari-hari. Membaca rilis Kominfo Muba tentang rapat para camat untuk percepatan pembangunan, saya jadi teringat pepatah Bugis “Taro ada taro gau”, kalau berkata, ya.. lakukan, karena janji tanpa aksi itu, seperti perahu tanpa dayung kelihatannya siap berlayar, tapi cuma melayang di tempat.
Kalau mau jujur, perubahan di Muba mestinya menyentuh empat sektor penting, bukan karena saya sok tahu, tapi karena inilah yang paling dirindukan warga dari Sungai Musi sampai kebun sawit ujung desa, misalnya infrastruktur yang tidak hanya instagramable, maksudnya jalan antar desa jangan cuma mulus saat mau difoto pejabat, lalu sebulan kemudian penuh lubang, seperti roti bolu.
Lihat Banyuwangi mereka membangun jalan kampung pakai beton bermutu tinggi, dan warga ikut terlibat merawatnya. Data Bappeda Banyuwangi (2022) menyebutkan biaya perbaikan turun 40% dalam lima tahun. Artinya, kalau dikerjakan serius, infrastruktur bisa awet, bukan proyek tahunan.
Ekonomi kerakyatan yang hidup, artinya lapangan kerja di Muba harus tumbuh, bukan cuma dibicarakan. Misalnya Kulon Progo, DIY, memberi contoh lewat program Bela Beli Kulon Progo. Pemerintahnya mewajibkan belanja produk lokal untuk proyek daerah. Hasilnya? UMKM naik kelas, pengangguran turun (Gunawan Sumodiningrat, Ekonomi Gotong Royong, 2019).
Kalau Muba mau, model ini bisa diadopsi, mulai dari pengadaan seragam sekolah buatan lokal sampai pengolahan hasil perkebunan di dalam daerah.
Lingkungan yang dirawat, bukan dieksploitasi, maksudnya Sungai Musi bukan cuma jalur transportasi dan sumber air, tapi juga identitas. Tapi kalau terus dikeruk pasirnya tanpa kendali, identitas itu bisa hanyut.
Lebih jauh lagi bisa belajar dari Korea Selatan yang punya cerita sukses Sungai Cheonggyecheon dulu kumuh, kini jadi taman kota yang mendongkrak nilai tanah 30% (Seoul Metropolitan Government, Urban Regeneration in Seoul, 2015).
Kalau mereka bisa, Muba pun mestinya mampu, seperti pelayanan publik yang ramah dan cepat,
Kantor camat. Singapura punya One Service App, warga lapor lampu jalan mati atau sampah menumpuk, langsung direspon cepat.
Laporan Singapore Civil Service (2021) menyebut tingkat kepuasan publik tembus 90%. Di Muba, konsep sederhana ini bisa diterapkan bahkan dengan grup WhatsApp khusus tiap desa.
Sering kali kita jago bikin rencana, tapi lemah di eksekusi, sama seperti pemain bola yang dribbling cantik, tapi lupa menendang ke gawang. Rapat demi rapat penting, tapi kalau hasilnya cuma tumpukan kertas “usulan”, ya sama saja kita menulis surat cinta lalu disimpan di laci, tidak pernah dikirim.
John C. Maxwell dalam Leadership Gold (2008) bilang, “Perubahan tidak datang dari niat baik saja. Ia lahir dari keberanian mengeksekusi niat itu secara konsisten.” Ini pelajaran mahal yang seharusnya dipegang semua pemangku kebijakan Muba.
Punya tanggunjawab
Mari kita jujur sedikit, jangan sampai program percepatan pembangunan ini bernasib, seperti acara arisan ramai di awal, sepi di tengah, ribut di akhir. Warga sekarang tidak lagi puas dengan slogan manis. Mereka mau bukti yang bisa disentuh, dilihat, dan dirasakan.
Kalau mau belajar, lihat Surabaya di masa Tri Rismaharini dari taman kota, layanan publik, sampai drainase, semua dibenahi. Hasilnya, kota itu jadi rujukan Nasional, dan bukan karena spanduk raksasa, tapi karena perubahan terasa di sendi kehidupan warganya.
Perubahan yang sehat itu seperti menanam pohon, kita tidak bisa berharap panen mangga besok pagi kalau baru menanam bibit semalam. Ada proses, ada perawatan, dan ada ketelatenan. Pepatah Minang bilang, “Kalau ingin menebang pohon, asahlah parang sampai tajam. Jangan cuma bicara panjang”
Jadi, di Muba Infrastruktur harus dibangun merata, bukan hanya di jalur strategis politik. Ekonomi diarahkan untuk memperkuat kantong warga, bukan kantong segelintir orang. Lingkungan dijaga seperti menjaga warisan nenek moyang. Pelayanan publik diubah dari “sekadar prosedur” menjadi “pengalaman yang menyenangkan”.
Solusinya, bentuk tim monitoring independen di setiap kecamatan untuk memastikan proyek berjalan sesuai janji. Libatkan komunitas dan LSM lokal dalam pengawasan anggaran. Adakan open house pelayanan publik setahun dua kali, biar warga bisa menyampaikan kritik dan saran langsung dan terapkan sistem pelaporan cepat (aplikasi, hotline, atau grup WA resmi) untuk masalah infrastruktur dan layanan.
Perubahan di Muba tidak boleh berhenti di kata-kata, ia harus menjadi kata kerja yang berjalan di jalan desa, mengalir di Sungai Musi yang bersih, dan hidup di pasar yang riuh tapi tertata.
Kita semua, dari warga biasa sampai pejabat, punya tanggung jawab menyalakan api perubahan itu, karena perubahan sejati bukan datang dari baliho atau podium, tapi dari kerja nyata yang dirasakan rakyat.
Sampai hari itu tiba, kita hanya bisa mengingatkan jangan biarkan “perubahan” menjadi etalase. Jadikan ia gerak yang nyata, meninggalkan jejak, dan membentuk masa depan Muba yang benar-benar berbeda dari masa lalunya.
Semua berharap lima tahun ke depan Muba benar-benar berubah, bukan hanya berubah di brosur atau spanduk. Lima tahun itu cukup untuk melihat jalan yang tadinya bergelombang jadi mulus, pasar yang tadinya becek jadi rapi, sungai yang tadinya keruh jadi jernih, dan warga yang tadinya mengeluh jadi tersenyum.
Semoga asa ini bukan mimpi kosong, asal setiap janji diterjemahkan jadi kerja, dan setiap kerja dijalankan dengan hati. Kalau lima tahun ini terpakai dengan bijak, kita tidak perlu lagi menunggu “perubahan” di masa depan karena ia sudah hadir, hidup, dan dirasakan setiap hari di tanah Muba tercinta. [***]