Sosial

“Operasi Karung Beras, Negara Gendong Emak-Emak Lewat Tanggal Tua”

ist

LANGIT Sekayu belum sempat cemberut, matahari pun baru buka satu mata ketika Fitri Yanti, emak-emak pejuang dapur dari Kelurahan Soak Baru, sudah berdandan rapi seperti mau kondangan, namun  bukan kondangan yang dituju melainkan halaman Kantor Bupati Muba, tempat launching penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) alias beras bantuan dari negara.

“Mak, serius ini kita dikasih dua karung?” tanya Dira, tetangganya, sambil nahan senyum kayak habis disuruh tampil dadakan di arisan RT.
“Iya, Ri. Dua karung. Satu buat Juni, satu buat Juli. Tapi dibagi sekarang juga. Alhamdulillah, nggak usah ngutang dulu ke warung Mak Jum” Fitri menjawab sambil melirik bungkusan beras seberat 20 kilogram di tangannya. Matanya berbinar. Suaranya lebih bening daripada siaran pagi radio lokal.

Wakil Bupati Muba, Kyai Rohman yang pagi itu tampil kalem seperti ustaz pembuka pengajian, berdiri di atas podium. Ia menatap lautan manusia dengan senyum teduh ala orang tua yang baru gajian dan tahu semua cucunya minta jajan.

“Kita di sini bukan sekadar bagi beras, ini bentuk cinta negara, bukan cinta palsu kayak janji mantan. Bantuan ini bagian dari program nasional, untuk meringankan beban dapur rakyat” katanya.
Tepuk tangan menggelegar bahkan burung gereja yang biasa nongkrong di atas pohon kantor bupati ikut bersiul.

Ali Badri, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, menyambung “Jumlah penerima kita di Muba ini 35.380 keluarga, Pak Wabup. Total 707,6 ton beras. Satu ton aja bisa bikin kenyang satu kampung seminggu, ini lebih dari tujuh ratus ton. Bayangkan!”
Penonton terdiam, sebagian hitung-hitungan di kepala. Sebagian lagi malah ingat belum masak nasi di rumah.

Sebetulnya, program ini bukan sulap bukan sihir, ini hasil gotong royong lintas lembaga dari Badan Pangan Nasional, Kementerian Sosial, Bulog, sampai aparat desa dan Satgas Pangan, kayak tim sepak bola nasional, kalau striker-nya Bulog, playmaker-nya Kemensos, dan bek tangguhnya perangkat desa.

Semua satu tim, satu tujuan yang bikin rakyat nggak lapar, dan dapur tetap ngebul walau harga-harga kadang naik kayak layangan putus benang.

Distribusinya pun digarap serius. Nggak asal lempar. Dari laporan resmi, Kecamatan Sekayu jadi raja penerima dengan 6.556 keluarga. Disusul Lais (4.680 keluarga) dan Sungai Lilin (2.621 keluarga). Ini bukan kompetisi, tapi kalaupun lomba—mereka pasti juara sabar nunggu bantuan datang.

Kalau boleh jujur, program ini datang tepat waktu. Menurut data BPS (Badan Paling Serius, eh, Statistik maksudnya), angka kemiskinan di Muba memang butuh pelampung.

Dalam laporan terakhir, sekitar 13% warga Muba hidup di bawah garis kemiskinan. Dan program seperti ini bisa jadi pelampung darurat. Bukan cuma soal beras, tapi juga jaminan bahwa negara hadir, meski kadang lewat kiriman karung.

“Kalau setiap dua bulan dapat, lumayanlah. Kita bisa atur. Yang penting anak-anak tetap sarapan. Nggak harus mewah. Yang penting kenyang, sehat, dan masih bisa senyum walau utang numpuk di warung,” kata Endang, satu lagi penerima bantuan, sambil menggulung ujung kerudungnya dan nyengir malu-malu.

Tentu kita semua paham, beras bantuan ini bukan solusi jangka panjang. Ini hanya satu sisi dari rubik kesejahteraan. Yang harus dikerjakan lebih dari sekadar bagi-bagi. Harus ada jaring pengaman sosial yang lebih kuat. Pendidikan yang mengangkat, lapangan kerja yang layak, dan harga sembako yang nggak bikin jantung jedag-jedug tiap akhir bulan.

Tapi untuk hari ini, syukuri apa yang datang, karena seperti kata pepatah warung kopi “Kalau belum bisa makan daging tiap hari, ya minimal nasi jangan absen. Rejeki boleh kecil, asal nasinya cukup dan senyumnya tetap lebar.”

Program bantuan pangan di Muba ini adalah contoh bagaimana negara dalam segala kelambatannya, kadang masih tahu caranya menyapa rakyat. Bukan lewat baliho, tapi lewat beras. Bukan lewat janji, tapi lewat karung-karung putih berisi harapan.

Dan buat warga seperti Fitri Yanti, Dira, dan Endang, dua karung beras bisa berarti dua bulan hidup tanpa deg-degan. Dua bulan anak-anak tetap bisa kenyang. Dua bulan dapur bisa tetap bernyanyi walau belum bisa memasak rendang.

Semoga, ini bukan akhir. Tapi awal dari pola pikir baru bahwa negara bukan hanya hadir di musim kampanye, tapi juga di dapur rakyat kecil yang selalu memasak cinta di atas bara pengharapan.[***]

Tulisan ini menggabungkan fakta dan fiksi. Tokoh-tokoh seperti Fitri dan Dira hanyalah perwakilan imajinatif dari ribuan warga Muba yang menerima bantuan beras. Programnya nyata, datanya akurat, dan senyumnya tidak direkayasa. Kami hanya membumbui ceritanya agar tidak hambar, karena informasi yang baik harus juga lezat untuk dinikmati.

Terpopuler

To Top