Sumselterkini.co.id, – Di malam yang biasanya cuma jadi tempat pacaran remaja dan jualan jagung bakar, Monpera Palembang mendadak berubah jadi panggung kejayaan! Bukan karena konser dangdut atau flashmob TikTok, tapi karena Festival Sriwijaya XXXIII Tahun 2025 resmi digelar dengan tema “The Glory of Sriwijaya”. Sebuah tema yang terdengar megah, seolah-olah Palembang siap jadi Athena-nya Asia Tenggara. Tepuk tangan dulu, tapi jangan lama-lama, nanti disangka nyamuk lagi tepuk tangan.
Gubernur Sumsel, yang biasa disapa HD, dengan lantang mengatakan Festival Sriwijaya ini masuk ke dalam 110 Karisma Event Nusantara Kemenparekraf RI. Artinya, festival ini bukan sembarang acara pentas seni SD. Ini event kelas nasional, geng… eh, maksud kami saudara-saudari sekalian!. Bahkan Sumsel punya dua wakil Festival Sriwijaya dan Festival Perahu Bidar. Tambah lagi, Sumsel Grand Fondo dan Dempo Run. Lengkap sudah dari budaya sampai keringetan.
Ia bilang, Sriwijaya itu bukan cuma cerita sejarah, tapi semangat yang harus diwariskan. Ya, mirip seperti pusaka nenek jangan cuma disimpan di lemari, tapi dijaga dan ditunjukkan ke dunia.
Jangan sampai kita sibuk upload konten Korea dan drakor, tapi lupa kalau dulu leluhur kita punya kerajaan maritim terbesar se-Asia Tenggara. Kalau nenek moyang kita bisa bikin Sriwijaya berjaya tanpa sinyal 5G, masa kita kalah gara-gara sinyal WiFi lemot?
Menurut Plt. Kadisbudpar Sumsel, Pandji Tjahjanto, festival ini bukan sekadar ajang pertunjukan. Tapi juga panggung bagi UMKM, sejarah, dan promosi pariwisata. Ini semacam sayembara modern untuk membangkitkan ekonomi siapa bilang budaya gak bisa cuan?
Bayangkan, sambil nonton teatrikal kejayaan Sriwijaya, kita juga bisa belanja produk lokal, minum kopi liberika, dan beli batik motif perahu bidar. Ekonomi kreatif jalan, budaya tetap eksis.
Kalau ini dijaga serius, bukan tak mungkin Palembang bisa nyusul Jogja atau Bali. Jangan-jangan nanti turis asing salah naik LRT, dikira monorel langsung ke Borobudur, padahal cuma ke Bandara SMB II, he..he..!!.
Tapi… mari kita kasih bumbu sedikit. Jangan cuma festivalnya aja yang megah, jangan Monpera-nya yang kinclong tiap tahun saat acara, tapi setelah itu kembali jadi tempat mangkal tukang parkir liar.
Jangan pula budaya hanya dijadikan dekorasi tahunan. Kita ingin budaya jadi gaya hidup, bukan sekadar seremonial. Jangan kayak pasangan yang cuma romantis pas ulang tahun doang.
Sebab, Sumsel ini ibarat warung kopi yang punya racikan legendaris, tapi pelanggannya lebih percaya kopi sachet. Kita harus pintar menyeduh kembali semangat Sriwijaya diseruput pelan-pelan, tapi nikmatnya sampai ke hati.
Kalau terus dijaga, bisa saja nanti kita punya “Sriwijaya Cultural City” ala-ala, yang jadi rujukan negara ASEAN, bahkan bikin negara lain bilang, “Wah, Sriwijaya! Itu legenda yang hidup, bukan cuma cerita museum.”
Pepatah bilang “Yang menjaga sejarah, akan punya masa depan. Yang cuma bikin event tahunan, nanti tinggal kenangan.”
Festival Sriwijaya ini bukan sekadar pesta mata, tapi peluang nyata. Tapi jangan lupa, budaya itu harus dirawat, bukan hanya dipertontonkan.
Sriwijaya bisa jadi inspirasi, asal kita tidak cuma tepuk tangan, tapi juga ikut menabuh gendang perubahan. Kalau perlu, kita bikin Media sosial seperti TikTok edukatif tentang kejayaan Sriwijaya, daripada joget gak jelas pakai lagu India di depan kolam retensi.
Mari kita buat Sumsel bukan cuma ‘Bumi Sriwijaya’ di spanduk, tapi juga di hati, di jalan, di konten, dan di ekonomi kita. Jangan sampai turis tahu Sriwijaya dari Wikipedia, tapi orang Palembang malah mikir itu nama restoran. Monpera sudah bicara. Sekarang giliran kita yang menjawabnya, bukan dengan angkot, tapi dengan karya.
Selain itu Festival Sriwijaya bukan sekadar ajang hiburan, tapi momentum untuk merekatkan sejarah, budaya, dan masa depan karena bangsa yang besar bukan yang punya panggung megah, tapi yang tahu cara menghormati warisan leluhurnya.[***]