Seni & Budaya

“Prangko Bukan Lagi Tempelan, Tapi Simbol Kejayaan yang Nempel di Hati”

ist

Palembang Jadi Kota Pembuka Sejarah, Kota Tua yang Dipercaya Kementerian Kebudayaan Buka Pameran Nasional Prangko Para Pendiri Bangsa

DULU surat cinta dikirim pak pos, sekarang cukup dengan “ping” di WhatsApp, kalau dulu prangko jadi lambang romantisme dan perjuangan, kini ia tampil lagi di panggung sejarah dan siapa sangka, Palembang yang jadi pembuka acaranya.

Yup, dari tepi Sungai Musi, sejarah dimulai lagi, Kota tua yang pernah berjaya di masa Sriwijaya kini kembali jadi pusat perhatian Nasional lewat Pameran Prangko Para Pendiri Bangsa. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II akan berubah jadi galeri penuh kisah perjuangan dari Soekarno, Hatta, Tan Malaka, sampai Sutan Sjahrir, semuanya hadir lewat selembar kecil yang pernah berkelana dari tangan ke tangan yakni prangko.

Kalau dengar kata museum, banyak anak muda langsung kening berkerut, dalam bayangan mereka, museum itu tempat benda tua berdebu yang cuma cocok buat foto tugas sekolah. Tapi sekarang, Pemerintah Kota Palembang lewat Dinas Kebudayaan kayaknya sudah meputar otak.

Mereka sadar, kalau mau sejarah hidup lagi, ya harus dibikin hidup beneran!, makanya, selama 20–24 Oktober 2025, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II bukan cuma buka pameran prangko, tapi juga menampilkan pameran pusaka Sriwijaya, workshop filateli, dan festival Jumpa Museum yang diisi tari Batanghari Sembilan, seni sastra, sampai musik vokal solo.

Pokoknya, museum sekarang bukan tempat berdiam, tapi tempat nge-dance bareng sejarah, prangko itu kecil, tapi punya nyawa. Ia merekam wajah para pendiri bangsa, simbol perjuangan, bahkan semangat zaman.
Kalau diibaratkan, prangko itu kayak cabe rawit kecik-kecik pedasnyo nian!.

Sekarang, lewat pameran ini, prangko bukan lagi sekadar benda koleksi para filatelis, tapi pengingat bahwa perjuangan besar bisa lahir dari hal-hal kecil. Dan di era digital kayak sekarang, ketika semua serba instan dan nempel di layar HP, pameran prangko jadi tamparan manis “Hei, ada nilai yang gak bisa dikirim lewat sinyal”.

Palembang itu kota yang pandai berdamai dengan waktu, ia bisa setua batu Sriwijaya, tapi juga selincah TikTokers zaman now.
Dan di tangan Dinas Kebudayaan, museum kini seperti Jembatan Ampera, menghubungkan masa lalu dengan masa depan, sejarah dengan hiburan, edukasi dengan ekonomi.

Kepala Dinas Kebudayaan Sulaiman Amin bilang, acara ini bukan cuma nostalgia, tapi bentuk kebanggaan. “Kita ingin museum jadi ruang edukatif dan rekreatif, sejarah jangan cuma dilihat, tapi juga dirasakan,” ujarnya.

Apalagi sebentar lagi, Pemkot juga menyiapkan studio dan ruang imersif 5 dimensi untuk menampilkan film-film sejarah Sriwijaya dan Kesultanan Palembang, jadi bukan cuma bisa lihat patung, tapi juga bisa masuk ke zamannya.

Negara-negara maju udah lama paham bahwa museum itu bukan kuburan sejarah, tapi taman bermain pengetahuan.
Jepang punya museum pos dengan prangko bertema anime; Inggris punya seri prangko bergambar Ratu Elizabeth sejak 1952, Jerman bahkan punya museum pos interaktif lengkap dengan zona selfie.

Nah, Palembang akhirnya ikut barisan itu, tentu dengan cita rasa lokal, kita gak perlu hologram Ratu, cukup semangat Sriwijaya dan aroma kopi Musi buat bikin pengunjung betah, dan ingat pepatah lama “Biar lambat asal selamat, biar tua asal berisi”
Palembang mungkin datang belakangan, tapi datangnya elegan, langsung jadi pembuka sejarah Nasional.

Tahun ini target pengunjung museum 30 ribu orang. Tapi baru 12.500 yang mampir. Artinya, masih banyak yang belum sempat “jatuh cinta”.

Tiket masuknya juga lucu murah: Rp2.000 buat anak-anak, Rp5.000 buat dewasa, Rp20.000 buat bule.
Harga yang bahkan lebih murah dari es teh di kafe, tapi yang didapat bukan cuma dingin, melainkan perjalanan ke masa lalu yang bikin hati hangat.

Jadi, kalau akhir tahun nanti target tercapai, bukan cuma angka yang naik, tapi juga rasa bangga. Karena, mencintai sejarah itu kayak menjaga hubungan, kalau gak sering dikunjungi, ya bisa dilupakan.

Langkah Palembang ini strategis banget, di saat banyak kota sibuk bikin event yang cepat viral tapi cepat basi, Palembang malah main di jalur jangka panjang membangkitkan ekonomi budaya.

Museum jadi magnet wisata, tapi juga ruang edukasi dan kreativitas, setiap kunjungan bukan cuma tiket, tapi interaksi antara warga dengan warisan sejarahnya sendiri, dan kalau ini terus digarap serius, Palembang bisa jadi contoh Nasional soal bagaimana “Nostalgia bisa jadi ekonomi”.

Dulu, kapal-kapal Sriwijaya berlayar dari Sungai Musi membawa rempah dan kejayaan, sekarang, dari tempat yang sama, Palembang mengirimkan aroma baru kebanggaan dan kesadaran sejarah.

Lewat selembar prangko, sejarah menempel lagi di hati kita, karena prangko, meski kecil dan sederhana, mengajarkan satu hal penting yaitu Yang kecil bisa punya arti besar, kalau ditempel di tempat yang tepat.

Kini, lewat museum yang semakin hidup, Palembang menempel di peta sejarah nasional, bukan cuma sebagai kota tua, tapi sebagai kota yang tahu caranya bikin sejarah tetap muda.[***]

Terpopuler

To Top