Sumselterkini.co.id, – Di tengah hiruk-pikuk Palembang yang kalau sore macetnya bisa bikin kita sempat merenung soal masa depan, ternyata ada satu acara yang bikin hati adem dan otak waras, yakni Palembang Book Party ke-31. Namun jangan bayangkan ini kayak pesta ultah anak tetangga yang isinya balon dan kue tart.
Karena ini lebih dari sekadar kumpul-kumpul, yang datang bukan cuma pembaca buku sejati, dan bukan pula pelajar yang baru kenal puisi, tapi pekerja yang bosan baca spreadsheet, sampai penulis lokal yang biasa menyimpan puisinya di notes HP.
Bertempat di Gedung Kesenian Palembang yang megah dan penuh sejarah, acara ini jadi ajang dua mingguan yang lebih syahdu, inget mantan jadinya… tiba-tiba nonton story kita, ada baca buku bareng, tukar pandang, dan kali ini, ditambah bonus spesial siapa pun boleh baca puisi di depan umum, tanpa takut ditanya sudah sarapan belum? sama MC-nya.
Ya, jangan salah, bukan cinta karena saling bertatapan waktu baca buku lalu deg-degan, seperti di novel Wattpad. Tapi cinta pada kata-kata, cinta pada kalimat yang tak bisa dibayar pakai e-money. Cinta pada sajak, yang katanya lahir dari rindu yang kelewat deadline.
Itulah yang terjadi di Palembang Book Party ke-31, lokasi -nya Gedung Kesenian Palembang sedikit sakral, dimana kursi tua dan aroma nostalgia bersatu dengan semangat muda yang baru belajar bedain antara Chairil Anwar dan Chairul Tanjung ?.
Biasanya, acara ini cuma sebatas buka buku, baca bareng, terus diskusi mirip rapat RT tapi lebih literer. Tapi kali ini beda. Ada special activity katanya. Bukan senam otak, bukan juga zumba literasi, tapi sesi berpuisi terbuka. Iya,.. siapa aja boleh naik panggung, ngeluarin uneg-uneg, asal jangan sambil ngeluarin tagihan listrik…
Dan ajaibnya, banyak yang naik. Ada pelajar dengan puisi cinta berjudul “Aku, Kamu, dan PR Fisika yang membunuh perasaan.” Ada juga pegawai swasta yang baca puisi berbahasa Inggris dengan logat Palembang yang bikin Shakespeare kebingungan di alam baka, bahkan ada yang bawa puisi sendiri, hasil curhatan malam minggu sendirian ditemani kopi sachet dan kenangan.
Yang gak naik? tenang, mereka juga gak bengong. Mereka mencatat, menulis kutipan, bahkan menempelkan pesan-pesan misterius di kertas note kecil. Ada yang menulis kalimat seperti, “Hidup ini keras, tapi puisimu lembut,” atau “Jangan tanya kenapa aku menangis, tanya saja kenapa kamu tak pernah membaca”.
Sumpah, ini lebih dramatis dari FTV, lebih dari itu, acara ini juga didukung Dewan Kesenian Palembang, mungkin karena mereka juga sadar kalau sastra tak diberi panggung, maka masyarakat akan terus terjebak pada konten-konten TikTok tanpa makna.
Oleh sebab itu, dengan adanya kolaborasi ini, semoga sastra di Palembang tak cuma jadi pengisi acara 17-an, tapi tumbuh seperti benih-benih harapan yang disiram puisi setiap dua minggu sekali.
Pepatah bilang “Kalau tak pandai berkata-kata, belajarlah dari penyair, mereka bisa membuat patah hati terasa seperti hadiah ulang tahun”. Tengoklah dari acara ini bisa tahu satu hal penting warga Palembang itu bukan cuma bisa ngamuk soal lampu jalan mati atau jalanan berlubang, tapi juga bisa khusyuk menyimak puisi, berdiskusi soal buku, bahkan menulis kalimat yang lebih tajam dari sindiran mertua, he..he.
Kalau daerah lain sibuk bikin festival musik EDM, Palembang diam-diam bikin festival emosi dalam bait puisi, kalau kota sebelah sibuk bikin lomba selfie pakai batik, Palembang malah asyik meresapi kata-kata seperti “hujan yang turun di bulan Juni”, sebuah metafora dari cinta yang datang terlambat tapi tetap ditunggu.
Kegiatan seperti Palembang Book Party juga, ibarat warung kopi buat jiwa-jiwa literasi, bikin ketagihan, bisa ngobrol bebas, bahkan tak pernah kehabisan bahan, semoga acara ke-32 dan seterusnya makin rame, makin variatif, dan makin banyak yang datang bukan karena penasaran, tapi karena rindu, sebab siapa tahu, di antara tumpukan buku dan bait-bait puisi, kamu menemukan cinta… atau setidaknya, menemukan alasan untuk tidak merasa sendiri.
Di tengah dunia yang makin riuh oleh reels, stories, dan feed yang isinya kadang tak berisi, Palembang Book Party hadir sebagai pengingat bahwa membaca dan menulis masih bisa bikin hati terisi dan ketika puisi mulai dibacakan dari panggung ke panggung, kamu tahu, Palembang sedang tidak main-main dengan kata. Mungkin kelak, sastra bisa menjadi moda transportasi jiwa engantar kamu dari realita ke imajinasi, dari rasa hampa ke makna, karena tak semua yang menyentuh harus terlihat kadang, kata-kata lebih ampuh dari pelukan.
Ibarat dapur umum buat para pemikir, tempat kata-kata dimasak, dipoles, dan disajikan dalam bentuk puisi dan kutipan yang kadang bikin senyum, kadang bikin merenung. Kalau kegiatan ini terus digelar, jangan heran kalau nanti Palembang bukan cuma dikenal dengan pempeknya, tapi juga jadi kota dengan indeks literasi yang bikin iri kota lain.[***]