Kata orang,
Penyebarannya mengacu deret hitung
bahkan seperti skema ponzi terlarang
Pemberitaan menguadratkan ketakutan
Yang terpapar positif mengakar kalkulasi curang
Virus raksasa bergerilya memercik di bawah tanah dari Wuhan
Kita terpaksa bertopeng masker mewah selangit
Dari podium bergincu orasi memoles pilu berkait
Mereka yang negatif seperti jarum di timbunan jerami
Saudara dan sobat dianggap pengkhianat tak boleh bersilaturahmi
Ramai meneruskan tradisi,
debat kusirkan karantina wilayah
Masih doninan penyuka pelanggaran pembatasan fisik
Tak mudah terima imbauan jadi individual di rumah
Salaman sedarah pun ditepis mata selidik
Katanya,
Untuk apa punya bibir kalau tak boleh bersin dan bercerita
Diminta ibadah di rumah, protes merasa lebih aulia
Anak-anak dirazia ponsel, paksa belajar di layar gawai berkuota
Hidung pintu utama bernapas, nyatanya di sanalah reseptor ternganga
Pedagang termangu, menjual rugi pun sepi pembeli
Buruh mau libur, majikan sulit menggaji
Bergantung paramedis, justru sebagian bernapas terakhir
Sopir tak mungkin dijauhkan dari setir
Penawar paten belum ada, obat negeri asal yang dibeli
Haruskah memilih tanpa alternatif
Ajal tak perlu dijemput bahkan dicari
Korona dari Wuhan telah datang tak pernah selektif.[***]
Palembang, 23 Maret 2020
Muhamad Nasir
Penulis & jurnalis