ORANG bilang “tembok punya telinga,” di Palembang sekarang tembok juga punya mulut yang cerewet, bedanya, mulutnya bukan ngomong pakai suara, tapi pakai warna, gambar, dan goresan cat. Ya, inilah suasana Palembang baru-baru ini, ketika Lomba Mural Graffiti Palembang sukses bikin jalanan jadi panggung seni yang tak kalah heboh dari konser dangdut keliling.
Bayangkan, tembok yang tadinya cuma jadi “korban iklan tambal ban 24 jam” atau “perangko politik lima tahun sekali” mendadak menjelma jadi kanvas demokrasi paling jujur. Anak muda, emak-emak kreatif, bahkan seniman kocak semua ikut nimbrung, kalau pepatah bilang, “bagai padi makin berisi makin merunduk,” nah mural ini ibaratnya makin banyak cat, makin tegak berdiri si tembok gagah memamerkan wajah baru kota.
Selama ini, jujur aja, wajah kota sering jadi korban branding, baliho caleg tersenyum penuh janji, spanduk diskon cuci motor, sampai poster pengobatan alternatif yang katanya bisa menyembuhkan dari masuk angin sampai urusan jodoh. Tapi dengan hadirnya mural, tembok kini naik kasta.
Rasanya seperti dari kos-kosan sempit pindah ke apartemen mewah, tiba-tiba tembok bukan lagi ruang komersial, tapi jadi ruang ekspresi. Bayangkan betapa mahalnya ruang di kota, bisa nongkrong aja udah harus bayar kopi, apalagi pengen bebas berekspresi?, mural ini kayak “warung kopi rakyat” versi visual gratis, terbuka, dan bisa dinikmati siapa saja.
Ada yang bilang demokrasi itu ribut di parlemen, ada juga yang bilang demokrasi itu nyoblos tiap lima tahun. Tapi di Palembang, demokrasi juga bisa lahir di tembok kusam di Simpang Charitas atau samping LP Perempuan.
Mural adalah bahasa rakyat paling meriah, yang nggak butuh mikrofon, nggak butuh kursi sidang, dan nggak perlu anggaran miliaran. Cukup ember cat, kuas, dan niat nekat, pesan pun sampai. Bedanya dengan baliho, mural nggak bisa dihapus pakai janji manis.
Kalau pepatah Jawa bilang, “Jer basuki mawa bea,” setiap keberhasilan ada biayanya, tapi dalam mural, biayanya bukan duit, melainkan keberanian untuk menempelkan ide ke tembok publik. Di sinilah seni jalanan jadi demokrasi: siapa pun bisa bicara, asal berani menggoreskan warna.
Hasil karya para peserta lomba mural di Palembang ini bukan main-main, ada yang menggambarkan Ampera dalam bentuk tiga dimensi, ada yang melukis Ratu Sinuhun dan Ratu Dewa, ada juga yang menyelam ke dasar Sungai Musi, mencari “harta karun sejarah” dan menuliskannya dengan gaya nyentrik Born to make hystory (iya, salah eja, tapi justru itu bikin ngakak dan jujur!).
Mural ini ibarat cermin, warga Palembang sedang bercermin pada dirinya sendiri, dari Sungai Musi sampai pemimpin kotanya, dari bidar sampai ikon kota, semuanya dihadirkan di tembok. Kalau biasanya identitas kota hanya numpang lewat di brosur wisata, kali ini identitas itu menempel di dinding, jadi tontonan gratis bagi siapa saja yang lewat.
Jadi pengingat
Bahkan mural juga jadi ajang stand-up comedy visual, ada kritik sosial, ada sindiran politik, ada juga humor receh khas anak muda. Goresan mural sering lebih jujur daripada pidato resmi, kalau pidato bisa pakai retorika, mural pakai warna yang tak bisa ditutup-tutupi.
Seperti pepatah Minang kok ndak bisa dibilang, bisa digambar, kalau mulut terbatasi aturan, tangan bisa bicara lewat mural. Inilah seni jalanan, kocak tapi tajam, receh tapi reflektif.
Nah, di sini pertanyaan serius muncul apakah mural hanya boleh ada saat lomba resmi, atau bisa terus jadi bagian wajah kota?, kalau setelah lomba tembok kembali kosong, maka sayang sekali, ibarat pesta pernikahan mewah tapi setelah itu rumah kembali sunyi.
Idealnya, mural bukan hanya event tahunan, tapi budaya, karena kota bukan sekadar bangunan beton, melainkan tempat orang berbagi cerita, kalau tembok boleh dipakai untuk iklan besar-besaran, kenapa suara rakyat tidak boleh menempel di sana?
Lomba mural Palembang ini memberi kita pelajaran sederhana, bahwa ruang publik yang terbuka bisa bikin warga lebih bahagia. Tembok kota bisa jadi cermin, bukan hanya kaca etalase, dan mural bisa jadi pengingat, demokrasi bukan melulu urusan kursi kekuasaan, tapi juga soal siapa yang boleh bicara di ruang kota.
Kalau mural ini terus dipelihara, Palembang bisa terkenal bukan hanya dengan pempek kapal selam, tapi juga sebagai kota seni jalanan yang hidup dan meriah, bukankah lebih indah kalau orang datang ke Palembang bukan hanya untuk makan, tapi juga untuk menyaksikan kota yang bisa tertawa lewat temboknya?
Dari semua warna, kuas, dan cat, mural di Palembang telah menunjukkan bahwa ruang publik bisa jadi kanvas demokrasi. Tembok yang tadinya bisu kini pandai berceloteh, lomba mural bukan hanya kompetisi seni, tapi eksperimen sosial tentang bagaimana warga, pemerintah, dan seniman bisa berbagi ruang dengan cara kreatif.
Seperti pepatah lama dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, di Palembang hari ini, pepatah itu berubah dimana tembok berdiri, di situ mural berdendang.[****]