Seni & Budaya

Ketika Guan Yin Turun Panggung, Diplomasi Cinta, Drama & Ekraf Nggak Kalah dari Drakor

ekraf

BIASANYA orang datang ke JIEXPO buat nonton konser K-Pop, kali ini suasananya beda, bro, bukan idola yang nyanyi “Saranghaeyo”, tapi seorang Bodhisattva bernama Guan Yin ngajarin cinta versi universal edition. Lampunya dramatis, musiknya megah, dan penontonnya?, dari ibu-ibu pencinta spiritual sampai bapak-bapak yang salah masuk karena dikira seminar motivasi.

Inilah Guan Yin The Musical, pertunjukan Internasional hasil kolaborasi Asia Musical Productions (AMP) Malaysia dan Yayasan Prajnaparamita (LPUB) Indonesia, digelar lima kali di JIEXPO Theatre, 3–5 Oktober 2025, dengan kapasitas lebih dari 12 ribu penonton, acara ini sukses bikin Jakarta mendadak punya aura welas asih mendunia.

Tapi tunggu dulu, ini bukan cuma soal nyanyi dan nari sambil pakai kostum bling-bling. Ada makna dalam yang bisa bikin kita mikir (dan ketawa getir), seperti kata Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar, yang hadir langsung. “Pertunjukan ini bukan hanya tontonan, tetapi mampu menjadi soft diplomacy antarnegara, antarbudaya, bahkan antaragama. Inilah ekonomi kreatif, karena kreativitas manusia yang bisa mengetuk hati tanpa sekat”.

Kata kuncinya tuh mengetuk hati tanpa sekat. Iya…, di zaman algoritma media sosial yang bikin kita gampang marah karena beda pilihan (bahkan beda merek air galon), muncul pertunjukan yang ngajak kita saling memahami.

Kalau di dunia digital komentar bisa kayak ring tinju, di panggung Guan Yin The Musical justru adem banget. Ceritanya dibagi jadi empat babak, dari legenda Miao Shan sampai Guan Yin yang menolak pergi karena masih pengin bantu manusia. Bayangin, Bodhisattva aja susah move on kalau soal kasih sayang.

Produser dan sutradaranya, Ho Lin Huay, ngeracik kisah ini kayak masakan fusion ada bumbu budaya Tiongkok klasik, spiritualitas Buddha, dan sentuhan modern, hasilnya? enak banget buat penonton dari segala latar.

Bahkan Direktur Seni Rupa dan Seni Pertunjukan Kemenparekraf, Dadam Mahdar, sempat nyeletuk. “Ekonomi kreatif harus jadi engine of growth. Pementasan musikal, seperti ini bisa jadi contoh bagi pejuang seni pertunjukan Indonesia dalam melahirkan karya yang bernilai dan berdampak luas”.

Nah, kalau dipikir-pikir, kata “engine of growth”, ini cocok banget, karena nonton Guan Yin The Musical tuh rasanya kayak mesin moral kita lagi di service. Keluar dari teater, mungkin kita nggak langsung tercerahkan, tapi minimal ada keinginan buat lebih sabar kalau antre di tol.

Sutina Irsan, Ketua Panitia, bilang dengan senyum khas panitia yang udah seminggu kurang tidur. “Semoga pertunjukan ini membawa kedamaian dan kebahagiaan untuk semua”.

Kalimat sederhana, tapi maknanya dalam, karena jujur aja, dunia lagi kekurangan stok damai, bahkan di grup WhatsApp keluarga aja, debat tentang nasi goreng pakai kecap bisa berujung “left group”.

Oleh karena itu, di sini seni tampil bukan cuma buat hiburan, tapi buat mendidik rasa, seperti pepatah lama bilang “Lidah bisa tajam, tapi tarian bisa lebih menusuk hati”.

Lewat musik, tarian, dan teater, Guan Yin The Musical ngajak kita mikir, mungkin selama ini dunia terlalu sibuk ngomong, sampai lupa mendengar. Padahal Guan Yin, sang “Pendengar Dunia”, justru memilih diam untuk mendengar penderitaan manusia. Coba bayangin kalau semua pejabat, netizen, dan mantan pacar bisa belajar hal itu, dunia pasti lebih damai.

Tapi jangan salah, di balik semua cahaya panggung itu, ada nilai ekonomi yang nyata. Pertunjukan ini melibatkan ratusan orang, dari seniman, musisi, teknisi, sampai penjahit kostum. Inilah bukti nyata bahwa ekonomi kreatif nggak cuma menghidupi dompet, tapi juga menyehatkan batin.

Satu panggung

Kalau selama ini banyak yang mikir seni nggak bisa bikin kenyang, mungkin mereka belum lihat tiket Guan Yin The Musical yang laku keras. Tapi lebih dari itu, pertunjukan, seperti ini membuktikan bahwa spiritualitas juga bisa dikemas dengan profesional, modern, dan bahkan instagrammable.

Bahkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Dirjen Bimas Buddha Supriyadi, dan Ketua Umum Walubi Hartati Murdaya hadir bareng perwakilan duta besar dari Thailand, Sri Lanka, dan India, coba pikir seandainya, satu panggung bisa bikin para pejabat dan biksu duduk damai berdampingan,  sudah barang tentu sebuah prestasi yang kadang lebih susah dari bikin UU disetujui serentak.

Setelah lampu panggung padam dan tepuk tangan reda, ada pertanyaan yang tersisa, kapan terakhir kali kita benar-benar mendengar, bukan cuma menunggu giliran bicara?

Mungkin itu pelajaran dari Guan Yin, bahwa cinta sejati bukan soal besar kecilnya pengorbanan, tapi seberapa tulus kita hadir untuk orang lain, bahkan saat nggak diminta.

Dan kalau seni bisa ngajarin itu sambil bikin ketawa, terharu, dan mikir, maka Guan Yin The Musical bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah kursus kilat kemanusiaan dalam format musikal.

Seperti kata penonton yang duduk di belakang saya sambil ngelap air mata dan berkata lirih, “Gila, ini pertunjukan bikin aku pengin minta maaf sama mantan, bro”.

Jika, seni bisa bikin orang pingin baikan, mungkin dunia emang butuh lebih banyak Guan Yin daripada debat di kolom komentar, karena seperti kata pepatah lama “Air yang tenang bisa memantulkan wajahmu, tapi seni yang tulus bisa memantulkan hatimu”. Yang jelas pesannya kadang yang paling butuh panggung bukan aktor, tapi hati kita sendiri.[***]

Terpopuler

To Top