DI Musi Banyuasin alias Muba, kabupaten yang sering jadi bahan obrolan di warung kopi lebih heboh daripada gosip artis, ada kabar segar pemerintah daerahnya siap gandeng Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himpera) buat dorong program rumah murah. Eh jangan salah, bukan rumah “murah meriah asal jadi” kayak mainan monopoli, ini serius, bro.
Nah, ini yang menarik, program ini bukan cuma untuk masyarakat berpenghasilan rendah alias MBR, tapi juga buat para PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Ya, kasihan juga kan, udah kerja siang malam, tapi rumah masih ngontrak. Pepatah lama bilang, “Rumah bukan sekadar tempat berteduh, tapi ladang kenangan dan masa depan”, kalau masih ngontrak, yang dipanen malah cerita pindahan tiap tahun.
Himpera datang ke Muba bawa niat baik, mereka bilang siap bangun rumah layak huni, tapi ada syaratnya, jangan bikin mereka muter-muter kayak naik komidi putar di pasar malam. Izin harus dipercepat, biaya macam-macam (PBG, BPHTB) sebaiknya dipangkas biar harga rumah nggak melambung tinggi kayak harga cabai waktu Lebaran.
Kalau dipikir, wajar juga tuntutan itu, kadang kita suka heran, bikin rumah buat rakyat kecil kok proses izinnya bisa lebih ribet daripada bikin pesta kawinan. Padahal, rakyat udah butuh rumah layak sekarang, bukan besok lusa.
Tentu, Pemkab Muba nggak mau kalah ganteng, Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Pak Alva Elan, bilang
“Program rumah untuk rakyat?, kami sambut baik dong. Tapi jangan lupa, harus sesuai aturan, bangunannya jangan banjiran, jalannya jangan kayak offroad”
Nah, ini baru bener, percuma bikin rumah kalau begitu hujan deras langsung jadi kolam renang dadakan, jangan sampai MBR dapat rumah murah tapi bonus banjir, itu bukan hunian layak, tapi latihan survival.
Jujur aja, seringkali program bagus di atas kertas, tapi di lapangan malah jadi drama sinetron panjang. Rumah rakyat jadi proyek setengah hati, kualitas tipis-tipis, yang penting jadi. Di sinilah pentingnya pemerintah jangan cuma jago nyambut baik, tapi juga jago ngawasin.
Dan buat developer, jangan cuma semangat waktu jumpa pers, tapi pas eksekusi malah kayak mesin tua, bunyi keras, jalan pelan. Ingat pepatah, “Janji itu hutang”, kalau udah janji rumah layak, ya harus ditepati, bukan layaknya rumah ayam.
Yang bikin manis, program ini juga menyentuh PPPK, selama ini, banyak PPPK kerja ngurus administrasi negara, tapi urusan rumah masih kejar-kejaran sama cicilan kontrakan, kalau rumah ini bisa terealisasi, hidup mereka bisa lebih tenang. Bisa fokus kerja, bukan fokus mikirin kapan pindahan lagi.
Boleh dong kita kasih masukan, coba deh bikin sistem perizinan rumah ini full digital, jangan ada “biaya siluman” atau “jalan tikus”. Transparan aja, kayak kaca jendela yang baru dipel. Masyarakat pun bisa ikut ngawasin, biar program ini nggak jadi bahan ketawaan di tongkrongan.
Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah perlu lebih berani ngasih insentif buat pengembang yang memang fokus bangun rumah MBR. Jangan cuma kasih penghargaan, tapi kasih juga keringanan pajak atau dukungan infrastruktur.
Kalau dipikir-pikir, rumah itu bukan sekadar tembok, atap, dan lantai, rumah itu simbol martabat, kalau rakyat punya rumah layak, mereka punya harga diri. Jangan sampai rakyat kecil merasa negara hadir hanya saat kampanye, tapi hilang waktu mereka butuh atap buat keluarganya.
Jadi, dukungan Pemkab Muba terhadap Himpera ini bisa jadi langkah maju. Tapi ingat, langkah kecil kalau nggak konsisten bisa nyasar ke got. Asa rakyat Muba jelas, bukan rumah megah ala sinetron, tapi rumah sederhana, layak, nggak banjir, dan bisa dicicil tanpa bikin kepala cenat-cenut.
Kalau semua pihak serius, rakyat Muba akan punya cerita baru. “Dulu kami ngontrak, sekarang kami punya rumah sendiri,” itu bukan cuma cerita manis, tapi bukti kalau negara benar-benar hadir.
Karena kata pepatah, “Rumah yang baik bukan yang megah, tapi yang membuat penghuninya betah”. Semoga rumah MBR dan PPPK di Muba bukan cuma sekadar program, tapi benar-benar jadi kenyataan.[***]