Properti

“Pejabat Nyari Lawan Debat, Ketika Kritik Jadi Vitamin Program 3 Juta Rumah”

ist

DI NEGERI +62 ini, biasanya pejabat itu paling suka kalau disanjung, apalagi kalau sambutannya diiringi tepuk tangan panjang, lebih panjang dari antrian minyak goreng waktu krisis. Tapi di Bandung, Kamis (28/8/2025), ada pemandangan langka Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait justru minta dicaci, eh dikritik.

“Iya, bagi saya kritik itu vitamin,” ujarnya di Gelar Wicara Nasional bersama The HUD Institute. Nah lho, jarang-jarang kan ada pejabat yang minta kritik, bukannya malah minta standing ovation, biasanya kritik dianggap racun, ini malah dianggap vitamin, boleh juga, gaya sehat politik ala food supplement.

Dalam acara itu, Maruarar juga bilang siap menyumbang uang Rp 1 miliar dari kantong pribadinya buat bikin Akademi The HUD Institute. Nggak pakai APBN, nggak pakai APBD, murni “uang jajan pribadi” katanya, alasannya sederhana negara sudah terlalu baik sama dia, jadi sekarang saatnya balas budi.

Akademi HUD ini nantinya bukan sekadar ngajarin cara bikin site plan atau ngitung KPR, tapi lebih dalam ngedidik pengembang biar punya hati, karena kata Menteri PKP, rumah subsidi itu bukan proyek sulap-sulapan, melainkan masa depan rakyat kecil. Jadi jangan sampai rakyat beli rumah subsidi, pas musim hujan bocornya malah lebih deras dari air terjun Niagara.

Yang bikin acara ini makin seru adalah ajakan beliau pada The HUD Institute. “Silakan kritik saya, kasih masukan, biar program perumahan rakyat ini realistis”.

Nah, coba bandingin sama budaya rapat-rapat kita, biasanya pejabat ngomong, audiens manggut-manggut, kadang tepuk tangan, meski nggak ngerti poinnya apa. Di sini malah kebalik menterinya nyari lawan debat. Mirip pemain catur yang bosan main sendiri, jadi butuh lawan biar nggak tidur di meja.

Dan lawan debat yang dipilih bukan sembarangan, ada Suharso Monoarfa (yang dipanggil “Menteri Senior”), Zulfi Syarif Koto, Andrinof Chaniago, plus 22 perguruan tinggi dan City University Malaysia, kalau diibaratkan, ini semacam turnamen debat Internasional, cuma temanya bukan filsafat, melainkan cara bikin rakyat miskin bisa punya rumah layak.

Salah satu bagian paling “manusiawi” adalah ketika Menteri PKP menjelaskan soal rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Biasanya pejabat ngomong pakai istilah ribet MBR eligible FLPP cluster, yang bikin rakyat makin bingung. Tapi Maruarar nyebut gamblang “buruh, tukang becak, tukang bubur ayam, tukang soto, bahkan ART”.

Wajah nyata

Ini baru keren, soalnya wajah nyata Program 3 Juta Rumah memang itu orang-orang sederhana yang tiap hari kerja keras tapi gajinya cuma cukup buat kontrakan petak. Jadi kalau mereka bisa punya rumah dari FLPP atau KUR Perumahan, jelas itu mimpi yang jadi nyata.

Presiden Prabowo sendiri sudah pasang target besar, kuota FLPP 350 ribu unit di tahun pertama, dan tahun depan diusulkan 500 ribu unit. Bayangin, kalau benar terealisasi, mungkin bakal ada lebih banyak momen haru ART selfie di depan pintu rumah barunya, tukang bubur bikin bubur spesial syukuran, atau tukang becak yang akhirnya bisa parkirin becak di garasi sendiri.

Tapi tentu saja, semua program manis itu butuh pengawasan, di sinilah peran The HUD Institute, kata Menteri PKP ide bagus belum tentu langsung bisa dilaksanakan, apalagi kalau nggak berbasis realita lapangan. Makanya beliau minta kajian yang grounded, bukan sekadar proposal muluk.

Kalau pakai analogi, program perumahan itu kayak bangun rumah, denahnya bisa indah, catnya bisa keren, tapi kalau pondasinya nggak kuat, ya roboh juga. Jadi kritik di sini fungsinya kayak tukang inspektur bangunan ngecek apakah bata dipasang lurus, semen cukup, atau jangan-jangan ada pengembang nakal yang bikin rumah dari kertas kardus.

Pertanyaan besarnya adalah  apakah ini model baru pejabat yang berani minta lawan debat?, atau sekadar gimmick sementara? waktulah yang akan menjawab.

Yang jelas, kalau pejabat lain meniru gaya ini, mungkin suasana politik kita lebih sehat, umpamanya kalau tiap rapat kabinet ada sesi “Kritik Bareng Menteri”, mirip stand up comedy tapi isinya saran pembangunan, bisa jadi lebih produktif daripada sekadar tepuk tangan formal.

Untuk sekarang, publik boleh optimis, sebab setidaknya ada satu menteri yang ngerti bahwa pujian bikin kekenyangan, tapi kritik bikin sehat.[***]

Terpopuler

To Top